Ilustrasi dinasti politik di Indonesia. (Ajid Kurniawan) |
JURNAL MEDIA INDONESIA - Indonesia Corruption Watch (ICW) (2024) mencatat bahwa 30 persen dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terpapar dinasti politik.
Pada data lain untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dirilis Litbang Kompas (2024), menunjukkan bahwa proporsi kekerabatan di DPD lebih besar dari DPR pada periode 2014-2029.
Dua
lembaga parlemen pusat yang menjadi kunci produk legislasi yang baik disandera
politik kekeluargaan, bahkan mendinasti.
Ini adalah gejala yang kontradiktif dengan konsep negara republik yang disebut
sebagai unamendable provisions dalam konstitusi Indonesia, di mana
karakteristiknya seharusnya merupakan oposan dari dinasti kekuasaan.
Untuk itu, upaya pencegahan dinasti politik patut diperjuangkan. Di antara upaya ini adalah membatasi masa jabatan anggota parlemen, sehingga tidak terbentuknya komposisi nyaman untuk mempertahankan kekuasaan berdasar hubungan kekerabatan an sich.
Setidaknya
ada dua cara yang dapat diperjuangkan untuk membatasi masa jabatan parlemen
secara periodik.
Pertama, melalui legislasi dengan berharap pada parlemen. Namun, tentunya sukar
dilakukan sebab akan berhadapan dengan pengurangan kekuasaan diri sendiri.
Kedua, melalui permohonan ajudikasi konstitusional pada Mahkamah Konstitusi. Opsi ini paling mungkin terjadi yang saat ini tengah diajukan oleh Zainul Arifin.
Relasi konseptual
Pembatasan
masa jabatan anggota parlemen dan dinasti politik secara permukaan tampak tidak
berkaitan secara langsung.
Namun, dapat digambarkan sesederhana bahwa membatasi potensi untuk bertahan
lebih lama dalam jabatan akan mencegahnya sembarang meneruskan legacy-nya
kepada kerabat terdekat.
Ernesto Dal Bó dkk (2009) dalam pembacaannya terhadap praktik dinasti politik dalam Kongres di Amerika Serikat menyimpukan “When a person holds more power, it becomes more likely that this person will start, or continue, a political dynasty”.
Dapat
diartikan, ketika seseorang memegang lebih banyak kekuasaan, semakin besar
kemungkinan orang ini akan memulai, atau melanjutkan sebuah dinasti politik.
Tidak perlu dipaparkan secara terperinci, tulisan ini menempatkan dinasti
politik sebagai bagian disadvantage dalam demokrasi.
Setidaknya, secara singkat itu tergambarkan dengan adanya sirkulasi kekuasaan yang terhambat, adanya kehendak memapankan kekuasaan tanpa kompetensi, potensi pembentukan kebijakan yang mengedepankan kepentingan kerabat dalam, dan lain sebagainya.
Pada
konteks Amerika (Lanacci, 2016), pembatasan masa jabatan parlemen tidak
dikaitkan secara langsung sebagai solusi terhadap dinasti politik.
Para pendukung batas masa jabatan anggota parlemen menilai bahwa pembatasan itu
akan memotivasi anggota parlemen untuk memanfaatkan kesempatan dan menggunakan
kekuasaan atas nama konstituen.
Selain itu, pembatasan dinilai dapat mengurangi korupsi dan meningkatkan independensi.
Pada sisi
lain, pihak yang menolak pembatasan masa jabatan mempertimbangkan alasan
pengalaman dan independensi yang akan diperoleh dari masa kerja yang panjang
sekaligus menilai ide tersebut tidak demokratis.
Apabila melakukan deep comparative, Filipina merupakan negara yang tepat untuk
dijadikan cermin.
Indonesia merupakan negara berkembang yang sering menghadapi tantangan lebih dari segi demokrasi dan rule of law serta negara presidensial-multipartai yang demokrasinya dikatakan sulit untuk stabil.
Di
Filipina, ketentuan pembatasan masa jabatan telah diterapkan untuk parlemen.
Namun Pablo Querubin (2013) menilai, sekalipun itu dirancang salah satunya
untuk melawan dinasti politik, ternyata tidak berdampak signifikan.
Kita dapat melepaskan persoalan implementasi yang terjadi di Filipina yang
nyatanya kurang berhasil.
Namun, secara konseptual itu tergambarkan bahwa pengadopsian pembatasan masa jabatan anggota parlemen dapat ditujukan secara konseptual untuk melawan dinasti politik selain adanya manfaat-manfaat lain yang telah dipaparkan.
Sebelum
bergegas menuju argumentasi lain, kita perlu membuktikan wacana ini secara
terbalik, berangkat dari pandangan pihak yang menolak adanya pembatasan pada
konteks Amerika, khususnya berkaitan dengan variabel pengalaman.
Benarkah dengan tidak adanya pembatasan masa jabatan di Indonesia akan
menyebabkan problem profesionalisme berdasarkan pengalaman sebagai anggota
parlemen?
Masalah profesionalisme di Indonesia saat ini terbukti dengan beragam persoalan legislasi. Pada sisi lain, dinasti politik di Indonesia justru berjalan bersamaan dengan adanya legislator muda belum berpengalaman yang justru terkontaminasi dinasti politik.
Klausul konstitusional
Kembali
pada perbandingan dengan Filipina. Pada konstitusi formal negara tersebut
tertera secara eksplisit klausul larangan politik dinasti.
Sebagaimana tertera dalam Article II, Section 26 Konstitusi Filipina 1987 “The
State shall guarantee equal access to opportunities for public service and
prohibit political dynasties as may be defined by law”. Ini yang membedakan
dengan Indonesia.
Dalam Article VI, Section 7 Konstitusi Filipina, diatur batas masa jabatan dari anggota parlemen adalah tiga kali secara berturut-turut.
Selain
itu, Constitute Project (data 2024) yang dikomandoi oleh Elkins dan Ginsburg
mencatat bahwa Konstitusi Aljazair, Bolivia, Chile, Costa Rica, Ekuador,
Mexico, Peru, dan Portugal mengadopsi ketentuan tersebut pada kamar pertama
parlemen.
Sementara Aljazair, Bolivia, Chile, Malaysia, Mexico, dan Rwanda mengadopsi
ketentuan tersebut pada kamar kedua parlemen.
Keberadaan klausul konstitusional tentu berperan untuk ‘memaksa’ parlemen untuk menindaklanjuti pengaturan terkait batas masa jabatan parlemen.
Di
Indonesia, ini menjadi tantangan, sebab dalam transisi demokrasi dan
serangkaian agenda amendemen konstitusi, fokus pembatasan diarahkan kepada
presiden daripada parlemen.
Alhasil, ketiadaan klausul konstitusional ini dapat saja menjadi senjata balik
untuk menyatakan upaya pembatasan adalah tidak demokratis atau dapat saja
menjadi tidak konstitusional.
Makna di balik apa yang tertera pada konstitusi formal atau apa kehendak para perancang konstitusi sebagai original intent dapat ditelusuri dari Memorie Van Toelichting (Mvt) perubahan UUD 1945.
Penelusuran
ini penting dilakukan untuk mengetahui, mungkin saja pembatasan ini pernah
dimaksudkan sebelumnya.
Setelah menelusuri risalah perubahan UUD 1945, hampir tidak ditemukan
pembahasan mengenai pembatasan masa jabatan parlemen, kecuali yang sekadar
dikaitkan dengan masa pemilu yang lima tahun.
Tidak dibahasnya ini disertai ketidaan maksud yang melarang dilakukan pembatasan bagi masa jabatan parlemen secara periodik.
Probabilitas
Mungkinkah
klausul konstitusional di Indonesia mempersilakan masa jabatan parlemen
dibatasi?
Ini dapat disorot dari sudut pandang Kebijakan Hukum Terbuka (KHT)/open legal
policy apabila ini diatur dalam undang-undang ke depannya.
Mardian (2016) mendefinisikan KHT, salah satunya, sebagai materi muatan tidak diatur dalam UUD 1945 dan sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang.
Kemudian
syaratnya yang kontekstual di sini adalah tidak menegasikan prinsip dalam UUD
1945, harus mempertahankan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, tidak menciderai UUD, tidak
dilarang atau bertentangan dengan UUD, logis dan dapat diterima secara hukum,
dan memiliki kegunaan atau manfaat.
KHT adalah penilaian terhadap suatu materi undang-undang. Sehingga,
pengakomodasian pembatasan masa jabatan parlemen di sini adalah pada konteks
apabila diatur dalam UU yang kerumitannya telah digambarkan sebelumnya.
Untuk itu, terlepas dari berharap pada pembentuk undang-undang, kita dapat berharap kepada Mahkamah Konstitusi sebagai institusi penilai undang-undang agar melakukan pengujian yang responsif sehingga mengabulkan permohonan-permohonan yang dilayangkan pada topik ini.
Andi
Redani Suryanata pada tahun 2023 pernah berupaya melakukan pengujian terhadap
ketentuan dalam UU Pemilu terkait masa jabatan DPR, DPD, dan DPRD.
Namun, melalui Putusan MK No. 98/PUU-XXI/2023, pemohon dinilai tidak memiliki
kerugian konstitusional sehingga permohonan ditolak.
Ignatius Supriyadi di tahun 2020 juga menggugat ketentuan masa jabatan DPR, DPD, dan DPRD dalam UU MD3.
Berbeda
dengan yang disampaikan oleh Suryanata, Supriyadi mencabut permohonan yang
diajukannya.
Pada permohonan yang saat ini sedang dilayangkan, atau pada permohonan lain
kedepannya, harapan responsive judicial review ini patutnya diterapkan,
khususnya untuk mencegah anasir buruk dari kekuasaan yang pembatasannya lunak
ini.
Yance Arizona (2024) dalam keterangan ahlinya pada Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 menyampaikan pandangan Rosalind Dixon tentang responsive judicial review.
Di antara
karakteristiknya adalah penguatan demokrasi, penafsiran konstitusi yang
progresif, keseimbangan antara stabilisasi dan perubahan, responsif terhadap
isu global, dan perlindungan terhadap hak-hak dasar.
Untuk pembatasan masa jabatan parlemen, ini memenuhi kepentingan responsif
tersebut apabila dikabulkan.
Ini sesuai dengan penguatan demokrasi dalam konteks pencegahan dinasti politik yang menjangkit serta upaya penafsiran yang progresif sebab mengedepankan kepentingan implikasi yang positif sekalipun tidak tertera secara eksplisit dalam teks konstitusi.
sumber: kompas
0 komentar :
Posting Komentar