Jakarta, JMI - Bencana alam dan cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim, mulai dari
banjir hingga kekeringan, badai hingga kebakaran hutan, telah membuat 43,1 juta
anak di dunia terpaksa mengungsi, ungkap data PBB dari tahun 2016 hingga 2021.
Badan PBB untuk Anak-anak, UNICEF, pada hari Kamis (05/10) juga mengecam
kurangnya perhatian yang diberikan dunia kepada para korban.
Dalam sebuah laporan menyeluruh, UNICEF telah merinci kisah-kisah yang menyayat
hati dari beberapa anak yang terkena dampaknya. Salah satu penulis, Laura
Healy, mengatakan kepada AFP bahwa data tersebut hanya mengungkap "puncak
gunung es" di mana masih akan ada lebih banyak lagi korbannya.
"Kami memindahkan barang-barang kami ke jalan raya, tempat kami tinggal
selama berminggu-minggu," kata Khalid Abdul Azim, seorang anak asal Sudan
yang desanya terendam banjir dan hanya bisa diakses menggunakan perahu.
Pada tahun 2017 lalu, kakak beradik Mia dan Maia Bravo juga telah menyaksikan
kobaran api melalap minivan keluarga mereka di California. "Saya takut,
terkejut," kata Maia dalam laporan tersebut, seraya menambahkan,
"Saya jadi terjaga sepanjang malam."
43 juta anak terpaksa mengungsi
Statistik tentang pengungsi internal yang disebabkan oleh bencana iklim umumnya
tidak memperhitungkan usia para korban.
Namun, UNICEF bekerja sama dengan organisasi nonpemerintah, Pusat Pemantauan
Pengungsian Internal, untuk mengungkap data dan memperlihatkan jumlah korban
yang sebelumnya tak diperhitungkan, khususnya di kalangan anak-anak.
Data dari tahun 2016 hingga 2021, dikumpulkan dari empat kategori bencana iklim
(banjir, badai, kekeringan, dan kebakaran hutan), yang frekuensi insidennya
meningkat akibat pemanasan global.
Data tersebut menunjukkan bahwa 43,1 juta anak dari 44 negara harus terpaksa
mengungsi, di mana 95% dari pengungsian internal tersebut disebabkan oleh
banjir dan badai.
"Angka ini setara dengan sekitar 20.000 anak yang mengungsi setiap
harinya," ungkap Healy kepada AFP, seraya menggarisbawahi bagaimana
anak-anak yang terkena dampak ini kemudian berisiko mengalami trauma, seperti
terpisah dari orang tua mereka atau menjadi korban perdagangan anak.
'Terlalu lambat'
Laporan UNICEF menawarkan beberapa prediksi parsial untuk kejadian-kejadian
tertentu, seperti banjir yang terkait dengan meluapnya sungai yang diprediksi
akan memicu 96 juta anak mengungsi dalam 30 tahun ke depan.
Sementara angin topan diperkirakan mampu menyebabkan 10,3 juta anak terpaksa
mengungsi, ungkap data tersebut. Selain itu, gelombang badai juga dapat
menyebabkan 7,2 juta anak mengungsi di masa depan.
"Bagi para korban yang terpaksa mengungsi, ketakutan dan dampaknya bisa
sangat menghancurkan, dengan munculnya kekhawatiran apakah mereka akan kembali
ke rumah, melanjutkan sekolah, atau harus dipaksa pindah lagi," jelas
Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell dalam sebuah pernyataan.
"Pindah tempat mungkin telah menyelamatkan hidup mereka, tetapi juga
begitu mengganggu," kata Russell.
Isu ini harus ada di COP28
UNICEF meminta para pemimpin dunia untuk mengangkat isu ini dalam pertemuan
iklim COP28 di Dubai pada November dan Desember mendatang.
Healy mengatakan bahwa anak-anak, termasuk mereka yang terpaksa berpindah
tempat, harus dipersiapkan "untuk hidup di dunia yang mengalami perubahan
iklim," meskipun dampak perubahan iklim ini semakin meningkat dan
mempengaruhi sebagian besar planet ini, lapor UNICEF seraya menyoroti
negara-negara yang begitu rentan akan bencana iklim.
Cina, India, dan Filipina adalah negara-negara dengan jumlah pengungsi terbesar
yakni hampir 23 juta dalam enam tahun terakhir. Selain jumlah penduduknya yang
besar dan lokasi geografis, tetapi rencana evakuasi yang mereka lakukan juga
sangat minim.
Namun, secara proporsional, Afrika dan negara-negara kepulauan kecil adalah
yang wilayah paling berisiko. Setidaknya 76 persen dari total anak yang
mengungsi dari tahun 2016 hingga 2021 saja merupakan anak-anak di Dominika.
Sedangkan Kuba dan Saint-Martin, angkanya hanya lebih dari 30 persen.
Sumber : Detik.com
0 komentar :
Posting Komentar