pimpinan partai oposisi new flemish alliance Bart De Wever (rmol.id) |
JAKARTA, JMI -- Keputusan pemerintah Belgia untuk menutup pembangkit listrik tenaga nuklir dan beralih ke pembangkit listrik tenaga gas mendapat kritik tajam dari pemimpin partai oposisi New Flemish Alliance, Bart De Wever.
Berbicara dalam
sebuah wawancara dengan televisi lokal, De Wever yang saat ini
menjabat sebagai Wali Kota Antwerpen itu mengatakan bahwa kebijakan
energi pemerintah Belgia telah mendorong negara itu ke dalam situasi yang
mengerikan. Bahkan, katanya, dapat membuatnya mirip dengan Yunani yang
dililit utang.
"Sudah waktunya bagi Belgia untuk
menghadapi kebenaran pahit bahwa negara mereka bangkrut," kata De Wever,
seperti dikutip dari RT, Senin (5/9).
“Lihat utang kita, belanja pemerintah, dan defisit. Ini lebih buruk
daripada di Eropa Selatan,” katanya.
“Saya sebelumnya telah mengingatkan bahwa setelah guncangan ekonomi, kita akan menjadi Yunani berikutnya. Sayang sekali, Itulah kenyataannya sekarang," lanjut walikota.
De Wever, yang memimpin kekuatan politik nasionalis Flemish konservatif, menuduh pemerintah Perdana Menteri Alexander De Croo gagal mempersiapkan Belgia dalam mengatasi krisis energi, kontras dengan apa yang dialami AS.
“Orang-orang Amerika tidak dalam masalah seperti ini. Mereka telah
melakukan kebalikan dari apa yang telah kita lakukan. Mereka sekarang
pengekspor migas," ujarnya.
Politisi Belgia itu berpendapat bahwa kepatuhan UE
terhadap “dogma hijau” tidak banyak membantu mencegah perubahan iklim, karena
standar yang ketat hanya mendorong industri ke negara lain.
"Belgia dan Jerman sangat bodoh untuk
menghentikan pembangkit listrik tenaga nuklir mereka," kata De Wever.
Pernyataan politisi itu merujuk pada komitmen
pemerintah saat ini yang dengan tegas menutup Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Doel dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Tihange dalam perjanjian koalisi
Desember.
Proses dekomisioning ketujuh unit Belgia
dijadwalkan akan dimulai tahun ini, dengan shutdown penuh pada tahun 2025.
Rencananya adalah membangun pembangkit listrik berbahan bakar gas yang
disubsidi pemerintah untuk mengkompensasi hilangnya pembangkit listrik.
Pada bulan Maret, pemerintah mengumumkan bahwa
mereka sedang mempertimbangkan untuk menjalankan reaktor Doel-4 dan Tihange-3
yang relatif baru selama sepuluh tahun melampaui batas waktu 2025 sebelumnya,
karena perkiraan kekurangan energi.
“Krisis ini, bukan krisis yang disebabkan
(Presiden Rusia Vladimir) Putin,” bantah De Wever dalam wawancara.
“Eropa telah membawanya dengan sendirinya dengan menghentikan produksi
energi primernya sendiri abad ini," lanjutnya.
RMOL/JMI/RED
0 komentar :
Posting Komentar