Jakarta JMI - "Apa arti kemerdekaan"? Pertanyaan ini masih kerap saya terima bahkan hingga usia Kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia tahun ini. Penulis tentu tak sendiri, sejumlah rekan pun sering mendapatkan pertanyaan serupa.
Jawabannya tentu akan berbeda-beda. Tergantung dari, di mana, kapan dan kepada siapa pertanyaan tersebut diajukan. Sekitar 25 tahun yang lalu, ketika pertanyaan itu diajukan kepada penulis di sebuah kampung tak jauh dari kaki Gunung, Lawu, Jawa Tengah, jawabannya adalah: "Merdeka itu ketika bisa belajar diterangi lampu listrik, wajah tidak kena lengus lampu tintir."
Lima tahun kemudian listrik masuk desa. Tak ada lagi anak-anak yang belajar di bawah temaram lampu petromak. Semua gembira sebab bisa lebih nyaman belajar di rumah. Namun ada satu persoalan yakni jalanan di kampung termasuk ke sekolah yang masih becek saat turun hujan. Bahkan beberapa warga yang akses ke sekolah melewati sungai harus rela belajar di rumah saat banjir. Maka ketika saat itu mereka mendapat pertanyaan," "Apa arti kemerdekaan"?, jawabannya berubah, "Merdeka adalah ketika jalan tak lagi becek, semua beraspal dan enak ke mana-mana."
Saat ini semua infrastruktur di kampung penulis seperti listrik, jalan, jembatan sudah tersedia. Generasi-generasi setelah saya sudah bisa belajar tanpa khawatir tak ada penerangan, berangkat ke sekolah tak perlu lagi risau jalan becek atau harus menyeberangi sungai banjir yang tak ada jembatannya.
Lalu apa jawaban saya sekarang apabila mendapat pertanyaan,"Apa arti kemerdekaan"?
Merdeka dalam dunia pendidikan artinya ketika tak ada lagi kasus anak putus sekolah. Semua anak-anak bangsa ini terbebas dari rasa takut tak bisa sekolah karena keterbatasan biaya. Merdeka adalah kondisi di mana anak-anak bangsa ini mendapatkan fasilitas dan perlakuan yang sama dalam bidang pendidikan, tak ada 'kastanisasi' sekolahan. Tak hanya di tingkat pendidikan dasar namun juga sampai perguruan tinggi.
Apabila melihat arti merdeka di atas, maka masih ada yang kurang dalam usia kemerdekaan ke-77 Indonesia tahun ini. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaporkan bahwa pada 2021 terdapat 75.303 anak putus sekolah. Terdiri dari anak SD sebanyak 38.716 orang, SMP 15.042 orang dan SMA sebanyak 10.022 orang.
Data UNICEF menunjukkan bahwa selama masa pandemi COVID-19 jumlah anak putus sekolah mengalami kenaikan sebesar 4,3 juta orang. Salah satu faktor penyebabnya adalah keterbatasan ekonomi atau kemiskinan warga. Musabab pandemi COVID-19, perekonomian warga kian terpuruk. Walhasil anak-anak yang mestinya sekolah baik online maupun offline tak bisa belajar. Apalagi anak-anak yang terpaksa harus belajar online namun tak memiliki handphone atau Laptop, beberapa di antara mereka memilih untuk tidak sekolah.
Sungguh sangat ironi, di usia kemerdekaan yang sudah mengancik usia 77 tahun, di Indonesia masih terjadi anak putus sekolah karena keterbatasan ekonomi. Kita tentu berharap bahwa kita bisa benar-benar merdeka, terbebas dari rasa takut tak bisa sekolah karena keterbatasan biaya.
Bisakah?
Kita harus optimis. Sebab bangsa ini memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang mumpuni. Tinggal bagaimana para pemimpin, pengambil kebijakan ini mengolah dan memanfaatkan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Ketika rakyat makmur, rakyat bisa merdeka untuk belajar dan tak ada lagi angka putus sekolah.
Merdeka!!!
Sebagai informasi, Indonesia kembali merayakan hari kemerdekaannya. Di tahun ini, Indonesia memasuki usia ke-77 tahun. Bagi Indonesia 77 tahun yang lalu, merdeka berarti terbebas dari penjajahan. Namun di masa kini, merdeka tentu memiliki makna tersendiri bagi masing-masing orang.
Dalam memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke-77, detikcom menginisiasi kampanye 'Merdeka Bagi Mereka'. Di kampanye ini akan ada kumpulan kisah inspiratif tentang arti 'Merdeka Bagi Mereka' dari berbagai figur dan perspektif.
Dtk/JMI/Red.
0 komentar :
Posting Komentar