JAKARTA, JMI -- Sejumlah elite politik ramai-ramai mendaftarkan uji materi terkait beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Di
antaranya ada yang menguji Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden alias presidential threshold.
Beberapa permohonan sudah diputus, dan masih ada yang berproses. Berikut daftar elite politik yang menggugat UU Pemilu untuk Pilpres 2024 ke MK.
Yusril Ihza Mahendra
Partai
Bulan Bintang (PBB) dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra
dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor mengajukan permohonan uji materi Pasal
222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
alias presidential threshold.
Mereka
menganggap mempunyai hak konstitusional untuk mengusung calon Presiden dan
Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Namun,
hak tersebut menjadi berkurang akibat berlakunya Pasal 222 UU Pemilu yang menambahkan
syarat perolehan suara sebanyak 20 persen.
Dalam
pemilihan legislatif tahun 2019, PBB hanya memperoleh suara sebanyak 1.099.849
atau sebesar 0,79 persen dari total suara yang telah ditetapkan berdasarkan
keputusan KPU Nomor: 1316/PL.01.9-Kpt/06/KPU/VIII/2019.
Yusril
dan Afriansyah menilai Pasal 222 UU Pemilu telah menjadikan Pemilu dikontrol
oleh oligarki dan penguasa modal, sehingga bukan merupakan hasil kehendak
kedaulatan rakyat ataupun pilihan subjektif partai politik.
Dalam
sidang pengucapan putusan yang digelar terbuka untuk umum, Kamis (7/7), MK
menolak gugatan tersebut.
Mahkamah
menyatakan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU
Pemilu berkaitan dengan esensi norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal
28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut
mahkamah, permohonan uji materi tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk
seluruhnya.
Merespons
penolakan MK, Yusril menuding MK telah menjadi pelindung oligarki dan
membahayakan demokrasi
La Nyalla dan Anggota DPD RI
Ketua
DPD Aa La Nyalla Mahmud Mattalitti serta Wakil Ketua DPD Nono Sampono,
Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin turut menggugat aturan presidential
threshold 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional sebagaimana
termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu.
Gugatan
mereka teregister dengan nomor perkara yang sama dengan PBB yakni:
52/PUU-XX/2022.
Menurut
La Nyalla dkk, berlakunya Pasal 222 UU Pemilu telah menghalangi hak serta
kewajiban pemohon untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan bagi
putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan Wakil
Presiden.
Namun,
MK memutuskan tidak menerima gugatan tersebut lantaran pemohon tidak mempunyai
kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan uji materi.
Mahkamah
berpendirian terkait pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu adalah (i) partai politik atau
gabungan partai politik, dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak
untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden.
Anis Matta dan Fahri Hamzah
Partai
Gelora yang diwakili oleh Muhammad Anis Matta, Mahfuz Sidik, dan Fahri Hamzah
menggugat Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu terhadap Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945. Pasal yang digugat itu mengatur pelaksanaan Pemilu secara
serentak.
Menurut
Anis Matta dkk, frasa 'serentak' dimaknai secara sempit sebagai waktu
pemungutan suara Pemilu yang harus dilaksanakan pada hari yang sama untuk
memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota
DPRD.
Jika
pada 2024 pemilihan anggota DPR dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, konsekuensi hukum yang timbul adalah hasil
perolehan suara atau kursi DPR yang digunakan sebagai syarat bagi partai
politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di Pemilu
2024 akan menggunakan atau didasari pada perolehan suara atau kursi DPR yang
diperoleh partai politik dari hasil Pemilu terakhir (2019).
Sementara,
Anis Matta dkk pada penyelenggaraan Pemilu 2019 belum membentuk partai politik
dan mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum publik. Hal itu membuat mereka
tidak bisa mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu mendatang.
Setelah
diperiksa, MK menolak gugatan petinggi Partai Gelora tersebut karena permohonan
tidak beralasan menurut hukum.
Anis
Matta dkk mempersoalkan frasa 'serentak' dalam norma a quo. Menurut Mahkamah,
keinginan pemohon untuk memisahkan waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR,
DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dilaksanakan pada
hari yang sama tetapi pada tahun yang sama, sama saja mengembalikan model
penyelenggaraan Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 yang telah tegas
dinilai dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah.
PKS
Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) ikut mengajukan gugatan mengenai presidential
threshold ke MK. Gugatan diajukan oleh dua pemohon yaitu Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) PKS dan Ketua Majelis Syuro Salim Segaf Al-Jufri, Rabu (6/7).
Presiden
PKS Ahmad Syaikhu mengungkapkan tiga alasan gugatan diajukan. Pertama,
masyarakat ingin aturan ambang batas presiden 20 persen itu diubah. Syaikhu
mengaku gugatan itu diajukan setelah pihaknya bertemu dan mendengar aspirasi
masyarakat yang menolak aturan dimaksud.
Kedua,
PKS ingin memperkuat sistem demokrasi serta peluang calon Presiden dan Wakil
Presiden lebih banyak pada masa mendatang. Terakhir, untuk mengurangi
polarisasi di tengah masyarakat yang disebabkan dengan dua kandidat pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana Pemilu sebelumnya.
Adapun
PKS mengajukan agar presidential threshold menjadi 7-9 persen kursi DPR.
"Kami
tidak ingin beralih dari kutub yang ekstrem di mana PT sangat tinggi 20 persen,
lalu berpindah ke kutub ekstrem berikutnya yakni PT 0 persen, karenanya
dua-duanya justru akan menghasilkan permasalahan bangsa. Jadi, kami mengambil
jalan tengah," ucap Syaikhu.
Permohonan
ini belum diperiksa MK.
Partai Ummat
Partai
Ummat melalui Ketua Umum Ridho Rahmadi dan Sekretaris Jenderal A. Muhajir juga
menggugat Pasal 222 UU Pemilu. Mereka menunjuk Refly Harun dan Denny Indrayana
sebagai kuasa hukum.
Dalam
permohonannya, Partai Ummat meminta MK membatalkan presidential threshold.
Pemohon menilai aturan tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945.
Ridho
mendalilkan ketentuan presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6 ayat
(2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat
(5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat
(1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Menurut
dia, presidential threshold tidak sesuai prinsip kepastian dan keadilan hukum.
Selain itu, aturan tersebut telah melanggar hak konstitusional Partai Ummat
dalam mengajukan calon Presiden.
"Berlakunya
ambang batas dalam pencalonan presiden (presidential threshold) berimplikasi
pada pengabaian dan/atau melanggar hak konstitusional Partai Ummat, in casu
Pemohon, sebagai partai politik yang memiliki fungsi menyalurkan aspirasi
dan/atau pendapat masyarakat dalam mengajukan calon Presiden (right to be a
candidate) pada pemilihan umum tahun 2024," ucap dia.
Permohonan
yang diajukan Partai Ummat belum diperiksa MK.
Gatot Nurmantyo & Ferry Juliantono
Mantan
Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry
Juliantono menggugat ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal
222 UU Pemilu ke MK.
Gatot
menyatakan presidential threshold merugikan karena menghalangi
kandidat-kandidat terbaik bangsa untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau
Wakil Presiden. Ia juga menilai syarat ambang batas pencalonan menimbulkan
potensi politik transaksional.
Sementara
Ferry berujar ambang batas pencalonan presiden menabrak prinsip perlakuan yang
sama terhadap partai politik. Dia berpendapat aturan itu membuat jabatan
presiden hanya bisa diakses oleh oligarki. Ferry mengajukan gugatan atas nama
personal, bukan Partai Gerindra.
Pada
Kamis (24/2), MK menolak gugatan keduanya. Mahkamah menyatakan para pemohon
tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam mengajukan permohonan
a quo. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan pokok permohonan para pemohon tidak
dipertimbangkan.
Rizal Ramli & Abdulrachim Kresno
Dalam
permohonannya, para pemohon meminta MK menghapus syarat ambang batas yang telah
membatasi hak seseorang mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Para pemohon ingin ketentuan presidential threshold diubah menjadi 0 persen
dengan harapan agenda Pemilu mendatang bisa lebih berkualitas dan adil.
Namun,
pada Kamis, 14 Januari 2021 lalu, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan
para pemohon tersebut. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai ambang batas
presiden dalam Pemilu 2019 tak memberi kerugian secara konstitusional kepada
pemohon.
Menurut
Mahkamah, pemilih pada pemilihan legislatif 2019 dianggap telah mengetahui
bahwa suara mereka akan digunakan untuk menentukan ambang batas pencalonan
Presiden.
Partai PRIMA
Partai
Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang diwakili oleh Ketua Umum Agus Jabo Priyono dan
Sekretaris Jenderal Dominggus Oktavianus Tobu Kiik menguji materi Pasal 173
ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan: "Partai Politik Peserta Pemilu
merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU."
Dalam
gugatannya, partai PRIMA menilai proses verifikasi peserta pemilu terhadap
partai politik secara faktual yang diatur dalam Pasal ini tak lagi relevan.
Selain
itu, mereka menyoroti perlakuan berbeda atau perlakuan istimewa terhadap partai
politik yang lolos parliamentary threshold pada Pemilu 2019. Mereka menilai hal
itu mencederai asas equality before the law.
Partai
di parlemen, menurut mereka, sudah mapan dan mempunyai kursi yang dalam
batas-batas tertentu memiliki wewenang kekuasaan. Dalam putusan yang dibacakan
kemarin, Kamis (7/7), permohonan tersebut dinilai Mahkamah tidak beralasan
menurut hukum untuk seluruhnya.
Mahkamah
menyatakan substansi yang dipersoalkan para pemohon pada hakikatnya sama dengan
yang telah diputus Mahkamah dalam putusan MK Nomor: 55/PUU-XVIII/2020, meskipun
dengan dasar pengujian yang berbeda serta alasan konstitusional yang digunakan
oleh pemohon juga berbeda.
Namun,
esensi yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu
yakni mempersoalkan mengenai verifikasi partai politik, baik secara
administrasi maupun secara faktual.
"Dengan
demikian, pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
55/PUU-XVIII/2020 mutatis mutandis berlaku pertimbangan hukum permohonan a
quo," terang Hakim Anggota Wahiduddin Adams.
Dalam
putusan perkara nomor: 55/PUU-XVIII/2020, MK memaknai Pasal 173 ayat (1) UU
Pemilu menjadi:
"Partai
politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan
parliamentary threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara
administrasi, namun tidak diverifikasi secara faktual."
"Adapun
partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan parliamentary
threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di
tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali
secara administrasi dan secara faktual. Hal tersebut sama dengan ketentuan yang
berlaku terhadap partai politik baru."
Sumber : CNN Indonesia
0 komentar :
Posting Komentar