gambar hanya ilustrasi
JAKARTA,
JMI -- Saya tak mau punya mantu seperti
tukang bakso. Satu kalimat yang terlontar dari Presiden kelima RI, Megawati
Soekarnoputri seperti sebuah pematik yang didekatkan ke setumpuk kertas bekas
yang siap terbakar. Seketika guyonan ibu dan anak yang seharusnya tersimpan
rapi di ruang keluarga itu, diinterpretasikan bermacam-macam. Banyak pihak
terbakar, apinya berkobar. Pernyataan soal ogah dapat mantu tukang bakso tentu
saja multitafsir, sehingga tidak heran banyak pihak yang langsung bereaksi
negatif atas pernyataan Megawati di Rakernas PDIP tersebut.
Megawati
dinilai sebagian pengamat politik keseleo lidah dalam pidatonya. Sebab, salah
satu tafsir terhadap ucapan itu adalah PDIP, khususnya Megawati, sudah menghina
profesi pedagang bakso yang mewakili rakyat kecil. Peristiwa itu menjadi
kontradiktif dengan slogan yang selama ini PDIP gaungkan sebagai "partai
wong cilik".
Pernyataan
Megawati itu pun direspon banyak pihak, lebih banyak yang menyerang pastinya.
Tentu saja pihak-pihak yang berseberangan atau setidaknya yang tidak
sepemikiran dengan PDIP mengomentari pernyataan Megawati yang dinilai sebagai
representasi nyata partai berlambang banteng tersebut.
Dari
sederet tokoh, publik figur, atau politisi yang "cawe-cawe" terhadap
pernyataan Megawati adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Namun, Anies
tidak ikut "menyerang" dengan kata-kata atau sekadar retorika semata,
melainkan aksi nyata dengan langsung mengundang para pedagang bakso ke Balai
Kota. Bertajuk Malam Ramah Tamah Jakarta E-Prix 2022 para pedagang bakso
membuka lapak di Balai Kota Jakarta, Jumat (24/6/2022). Undangan "musuh
baru PDIP" ke kandang Anies itu dinilai sebagai aksi sarkas tanpa banyak
bicara yang paling efektif untuk menyindir PDIP yang memang dikenal
berseberangan dengan Anies.
Kehadiran
pedagang bakso di Balai Kota pun direspon banyak pihak. Di media sosial perang
argumen terjadi. Anies dinilai memainkan politik genit dan berusaha mencari
panggung di penghujung masa jabatan. Sementara tidak sedikit yang menilai
kehadiran pedagang bakso di Balai Kota sebagai langkah cerdas Anies menyindir
Megawati sehingga membuat PDIP seperti kebakaran jenggot.
Tidak
percaya PDIP kebakaran jenggot dengan "tingkah" Anies? Tengok respon
yang disampaikan sejumlah elite PDIP.
Sekretaris
Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto mempertanyakan langkah Anies mengundang
pedagang bakso ke Balai Kota. "Seingat saya Pak Anies itu jadi gubernur
sudah sejak tahun 2017. Kenapa baru sekarang bertemu dengan para tukang
bakso?" ujar Hasto di Jakarta Convention Center, Sabtu (25/6/2022).
Menurut
Hasto, tindakan Anies mempertontonkan politik yang tidak dekat dengan rakyat
karena baru bertemu dengan rakyat kecil di sisa-sisa masa jabatan. "Itulah
sebagai contoh ketika politik tidak mengakar sehingga terlambat bertemu dengan
rakyat kecil," ujar Hasto.
Bahkan
karena diserang banyak pihak terkait pernyataan Megawati soal ogah punya
menantu seperti tukang bakso, PDIP langsung buru-buru bereaksi. Sebagai upaya
menangkis pernyataan-pernyataan negatif terkait PDIP yang tidak pro wong cilik,
terutama kepada para pedagang bakso, Megawati dan anak kandung serta anak
buahnya langsung mengadakan jamuan makan bakso dengan memboyong para tukang
bakso plus gerobaknya. Tak tanggung-tanggung, Megawati sampai-sampai harus rela
disorot kamera saat makan semangkuk bakso di kantornya.
Lalu
bagaimana respon Anies? Sampai tulisan ini dibuat, mantan rektor Universitas
Paramadina tersebut masih tutup mulut dan belum memberikan pernyataan resmi
terkait "kegaduhan" tukang bakso.
Dalam
ilmu semiotika, Anies sudah melakukan komunikasi tanpa kata. Umpan yang
dilempar Anies menjadi santapan dan rebutan para elite politik yang sekubu
dengan PDIP. Artinya tanpa perlu dikonfirmasi pun rasanya hampir semua pihak
tahu jika langkah Anies yang mengundang tukang bakso ke Balai Kota sebagai
langkah membuat PDIP kehilangan langkah sebelum (mungkin) mati langkah.
Anies
berhasil memainkan semiotika komunikasi secara visual yang menekankan pada
teori produksi tanda. Anies sebagai pengirim pesan dan PDIP sebagai penerima.
Sedangkan tukang bakso di Balai Kota sebagai kode yang terbalut pesan sindiran
sehingga menjadi acuan komunikasi sarkas.
Dalam
pandangan saya, umpan yang dilempar Anies tidak hanya berhasil membuat
ikan-ikan di kolam kekuasaan mendekat, melainkan ramai-ramai berebut untuk
memakan umpan tersebut tanpa sadar bahwa mereka sedang masuk perangkap.
Di
posisi ini dalam pandangan saya, Anies unggul satu langkah. Setidaknya Anies
memiliki amunisi untuk melakukan serangan balik setelah selama bertahun-tahun
dia terkena upaya pembingkaian (framing) politik identitas. Seperti
diterangkan pengamat politik yang tergabung dalam Forum Doktor Ilmu Politik UI,
Reza Hariyadi, framing politik identitas gencar diarahkan
kepada Anies yang disebut dekat dengan kelompok-kelompok yang diframing sebagai
kelompok radikal.
Bahkan,
lewat Majelis Sang Presiden yang mengklaim terdiri dari eks anggota Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), hingga mantan napi terorisme,
mereka mencoba menenggelamkan nama Anies dengan cara mendeklarasikan Anies
sebagai capres 2024. Seperti diberitakan Republika.co.id, Reza
menyebutkan pola-pola stigmatisasi, framing, hingga mobilisasi
politik identitas biasanya menjadi modus dalam komodifikasi (perubahan fungsi)
politik identitas dengan target untuk mendistorsi opini publik dan memberikan
label negatif pada figur yang disasar.
"Ini
tampak seperti komodifikasi politik identitas, siapa saja bisa disasar, dan
Anies Baswedan sebagai figur capres bisa jadi target potensial. Mungkin
motifnya untuk mencederai citra dia di mata publik," ujar Reza, Ahad
(26/6/2022).
Padahal
PDIP seharusnya tidak perlu keras merespon tindakan dan langkah-langkah Anies.
Syaratnya tentu saja jika PDIP yakin mereka memang membela wong cilik, bukan
sekadar ucapan tetapi lewat tindakan. Contohnya seperti ikut sedih dan menolak
jika pemerintah menaikkan harga BBM, ikut sedih jika minyak goreng langka di
pasar dan membelinya harus menggunakan PeduliLindungi, atau ikut sedih jika
tarif dasar listik melambung.
PDIP
juga rasanya tidak perlu takut dengan pergerakan Anies yang disebut-sebut sudah
berada di rel yang tepat untuk maju pada Pilpres 2024. Alasannya, Anies bukan
politikus atau kader partai sehingga dia tidak punya kendaraan politik alias
parpol untuk mencalonkan diri. Alasannya apalagi kalau bukan terpasangnya barrier
to entry lewat ketentuan yang mengatur mengatur ambang batas
pencalonan presiden alias presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Dalam
Pasal 222 UU Pemilu dengan tegas disebut, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai
Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan
perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR
atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada
Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Apalagi
hingga saat ini uji materi presidential threshold 20 persen selalu ditolak
Mahkamah Konstitusi (MK). PDIP sebagai "juara bertahan" seharusnya
tidak perlu khawatir terhadap pergerakan Anies yang tidak bisa maju jika tidak
diusung parpol yang memenuhi syarat presidential threshold 20 persen. Kecuali
jika PDIP tidak yakin akan kembali menang pada Pemilu 2024, atau jika PDIP
tidak percaya diri memiliki calon yang bisa maju menjadi gladiator yang
bertarung dengan Anies jika mendapatkan tiket bertarung di gelanggang Pilpres
2024. Atau justru Anies yang akan diusung PDIP sebagai capres di Pilpres 2024?
Kita lihat saja, siapa yang memenangkan hati para tukang bakso dan
penggemarnya. Tabik.
Sumber
: Republika.
0 komentar :
Posting Komentar