JAKARTA, JMI - Indonesia termasuk dalam jajaran negara pengekspor produk perikanan terbesar di dunia, dengan total ekspor produk perikanan tahun 2020 mencapai USD5,2 miliar dimana USD4,84 miliar berasal dari ikan konsumsi. Pada periode Januari-Maret 2021, nilai ekspor produk perikanan mencapai USD1,27 miliar, atau naik 1,4% dibanding periode yang sama tahun 2020.
Negara tujuan ekspor utama RI adalah Amerika Serikat, Tiongkok, ASEAN, Uni Eropa, dan Timur Tengah. Berdasarkan data tahun 2020, sebanyak 2.191 unit pengolahan ikan (UPI) juga telah menembus ekspor ke 157 negara mitra dengan komoditas ekspor utamanya meliputi udang, tuna, cakalang, tongkol, cumi, kepiting, rajungan, rumput laut, dan ikan layur.
Namun demikian, dibalik tingginya data ekspor tersebut, pelaku eksportir produk perikanan Indonesia kerap kali menerima penolakan produk karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan negara tujuan ekspor. Menurut data US Food and Drug Administration (FDA) per Desember 2020, pada tahun 2020 terdapat 97 kasus penolakan ekspor perikanan dari Indonesia (dilihat dari shipment ID).
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Sjarief Widjaja, menegaskan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, telah mengingatkan pentingnya jaminan mutu produk ekspor perikanan Indonesia, karena hal tersebut akan menentukan daya saingnya di pasar dunia.
“Jaminan mutu ini penting sebagai upaya meningkatkan kepercayaan pasar dunia terhadap produk perikanan Indonesia. Karenanya, harus benar-benar diperhatikan untuk mendukung upaya KKP, sehingga ekspor produk perikanan Indonesia terus meningkat walaupun pandemi Covid-19 masih melanda dunia. Harus dipastikan bahwa customer akan menerima produk berkualitas, bermutu baik, tidak tercemari kontaminan kimia, biologi, maupun fisik yang dapat mengganggu perdagangannya," terang Sjarief dalam arahannya saat membuka Webinar Food Safety Talk bertema Strategi Menghadapi Penolakan Produk Perikanan Indonesia di Pasar Global, yang diselenggarakan Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) pada 6 Mei 2021.
Melalui webinar ini, Sjarief juga mendorong BBRP2BKP untuk dapat mengembangkan metodologi proses pengujian deteksi kontaminasi ikan, setelah ditangkap dari laut maupun hasil budidaya, sampai dengan proses ekspor, sehingga tidak ada lagi negara yang menolak produk perikanan Indonesia. "Produk yang kita ekspor bukan hanya yang dapat langsung dikonsumsi. Banyak juga raw material yang kita ekspor. Tentu saja harus dipastikan bahwa tidak ada kontaminan-kontaminan yang terkandung di dalam produk yang kita kirim. Salah satu upaya yang dapat dilakukan BBRP2BKP adalah dengan mengembangkan test kit pengujian bahan berbahaya dalam produk perikanan untuk mengurangi risiko penolakan ekspor produk kita," tegas Sjarief.
Dr. Dwiyitno, Peneliti BBRP2BKP terkait Keamanan Pangan, menuturkan, hambatan yang umum dihadapi oleh pelaku eksportir produk perikanan Indonesia berupa penolakan produk karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan negara tujuan ekspor, diantaranya adalah adanya cemaran logam berat (merkuri dan kadmium), bakteri patogen, kandungan histamin yang melebihi ambang batas, kontrol suhu yang buruk, terjadinya kemunduran mutu produk, produk terkontaminasi kotoran, dan cemaran obat/bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan/melebihi ambang. Produk perikanan Indonesia seperti udang, TTC, marlin, rajungan, dan octopus pun pernah mengalami penolakan oleh beberapa negara seperti Uni Eropa, USA, Kanada dan Tiongkok.
Dari sisi riset, dijelaskan Dwiyitno lebih lanjut, bahwa penolakan produk ekspor Indonesia dapat diantisipasi dengan melakukan monitoring secara kontinyu dan sistematis, didukung basis data dan informasi yang terintegrasi, mitigasi sumber cemaran potensial, serta efektivitas pengawasan melalui penerapan early warning dan zonasi pengelolaan kawasan.
Dari sisi kontaminasi biologi, Dr. Radestya Triwibiwo, Peneliti BBRP2BKP terkait Keamanan Pangan, menjelaskan bahwa sumber kontaminasi tersebut dapat berasal dari perairan tercemar, pakan tercemar, serta kontaminasi silang pada saat penanganan, penyimpanan, dan distribusi produk perikanan. Kontaminasi bakteri E. coli, Salmonella, dan Vibrio misalnya, dapat berasal dari perairan yang tercemar, bahan baku yang tercemar, dan kontaminasi saat penanganan produk (dari manusia).
Dituturkan lebih lanjut oleh Radestya, beberapa upaya untuk mencegah adanya kontaminasi tersebut adalah dengan meningkatkan jaminan mutu produk perikanan melalui sertifikasi mutu, penerapan traceability, dan penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan secara kelembagaan maupun dengan penerbitan peraturan. Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan pembinaan kepada pelaku usaha mulai dari hulu sampai hilir untuk memastikan produk yang dihasilkan terjamin mutu dan keamanannya.
Traceability atau ketertelusuran juga menjadi kunci jaminan mutu produk perikanan. Traceability meliputi keseluruhan input dan proses dalam kegiatan penanganan dan/atau pengolahan ikan, serta harus mampu mengidentifikasi asal atau sumber bahan baku dan kepada siapa produk dipasarkan atau didistribusikan (from farm-to-fork).
Dari sisi kelembagaan dan peraturan, KKP melalui unit kerjanya, telah melaksanakan monitoring, pengawasan dan pengendalian terhadap produk perikanan ekspor, dibawah tanggung jawab BKIPM; menyusun (harmonisasi) standar produk dan pembinaan terhadap pelaku industri perikanan dibawah tanggung jawab Ditjen PDSPKP; melaksanakan pengawasan dan pengelolaan sumber daya kelautan sebagai bahan baku industri perikanan dibawah tanggung jawab Ditjen PSDKP; dan melaksanakan penelitian dan kajian ilmiah untuk mendukung daya saing produk perikanan di pasar global, penyuluhan terhadap pelaku industri perikanan, dibawah tanggung jawab BRSDM.
Saat ini, KKP juga tengah mengembangkan integrasi Sistem Telusur dan Logistik Ikan Nasional (Stelina) sebagai implementasi PP Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Melalui sistem ini, informasi yang memuat neraca ikan, ketertelusuran dan aspek keamanan pangan dapat dimonitor. Selain itu, Stelina juga menjadi instrumen pemantauan impor perikanan sekaligus memuat informasi syarat ekspor ke negara-negara tujuan ekspor.
Gufron/Red/JMI
0 komentar :
Posting Komentar