WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Akui Salah Ketik, Pemerintah Persilakan Perbaiki RUU Ciptaker di DPR

Foto: Menko Polhukam Mahfud Md (Andhika Prasetia/detikcom)
JAKARTA, JMI -- Polemik RUU Cipta Kerja (Ciptaker) diharapkan bisa tuntas dalam pembahasan antara pemerintah dan DPR. Termasuk pasal 170 yang disebut salah ketik oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Secara garis besar, pasal tersebut menyatakan bahwa UU bisa diubah dengan peraturan pemerintah (PP). Bagi beberapa pihak, pasal 170 yang dipersoalkan itu bukanlah bentuk salah ketik.

Kemarin (18/2) Mahfud mengakui, memang ada kekeliruan pada pasal 170. ’’Tadi sudah disepakati kalau kembali ke teori dasar ilmu perundang-undangan,’’ terang Mahfud setelah ratas di kantor presiden kemarin. Teori dasar yang dimaksud menyatakan bahwa yang bisa mengubah UU itu hanya UU. PP hanya bisa mengatur lebih lanjut.

Saat ini, lanjut Mahfud, RUU Ciptaker masih berbentuk rancangan. Karena itu, perbaikan masih dimungkinkan selama proses di DPR. ’’Jadi, tidak ada PP itu bisa mengubah undang-undang,’’ lanjut mantan menteri pertahanan tersebut. Kekeliruan redaksional bisa diperbaiki dalam proses di DPR. Parlemen bisa mengubah, rakyat bisa memberikan masukan.

Kekeliruan tersebut, lanjut Mahfud, tidak lantas mengharuskan pemerintah membuat keterangan resmi ke parlemen bahwa pasal itu keliru. Perbaikan bisa langsung dilakukan selama proses pembahasan di DPR. Mana saja bagian UU tersebut yang dianggap tidak tepat, bisa diajukan perbaikan dan dilakukan pembahasan.

Mahfud menambahkan, sebenarnya sudah ada gate atau penyaring di Kemenko Perekonomian. “Cuma saat-saat terakhir ada perbaikan, lalu ada keliru itu,” tutur mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut Mahfud, kekeliruan dalam sebuah rancangan UU bukan hal aneh. ’’Itu tidak apa-apa, biasa sejak dulu ada kekeliruan,’’ ucapnya. Karena itu, rakyat diberi kesempatan untuk memantau di DPR, termasuk memantau naskahnya. Lewat kesempatan tersebut, rakyat menjadi tahu bahwa ada kesalahan sehingga memberikan saran perbaikan. Dalam hal redaksional, bila ada yang tidak pas, dilakukan perbaikan agar tepat.

Sementara itu, peneliti pada Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Charles Simabura menuturkan, harus dibedakan antara kesalahan ketik dan ketidakcermatan dalam menggarap substansi. ’’Tipo itu kalau undang-undang jadi udang-udang, kurang kata ’wajib’ atau ’dapat’ misalnya,’’ ujarnya. Namun, kalau yang keliru adalah sebuah naskah yang sudah jelas maknanya, itu bukan lagi kesalahan ketik. Publik bisa berasumsi bahwa ada pasal titipan dalam RUU tersebut. Potensi pasal titipan, tutur Charles, juga pernah disinggung Mahfud sebelum dia menjadi menteri. Karena itu, wajar ketika publik mendapati pasal-pasal aneh, lalu menganggapnya titipan yang keburu ketahuan.

Dari sisi substansi, menurut Charles, pasal yang dianggap salah ketik itu sebenarnya sudah klir. Pemerintah ingin punya wewenang untuk mengubah ketentuan dalam UU tersebut. Atau, ada UU lain yang tertinggal alias tidak sempat diubah melalui RUU Ciptaker. Perubahan ketentuan itu hendak diatur dengan PP.

Persoalannya, pasal tersebut tidak hanya menabrak regulasi, tapi juga konstitusi. Bagaimanapun, PP adalah turunan dari UU. Dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa presiden menetapkan PP untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. PP mengatur hal-hal teknis yang memang tidak diatur dalam UU yang biasanya bersifat lebih umum. ’’Jadi, PP itu melaksanakan undang-undang. Selesai itu,’’ tegas dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas tersebut.

Presiden hanya bisa mengubah isi UU melalui satu cara. Yakni, mengeluarkan perppu. Namun, ada syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa. Di luar itu, UU hanya bisa diubah dengan UU. Juga, bisa lewat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi terhadap satu atau beberapa pasal dalam UU.

Yang berbahaya dari pasal itu, kata Charles, adalah maknanya. UU yang ada, bila tidak diubah UU Ciptaker, bisa direvisi pemerintah dengan menggunakan PP. Dalam hal ini, termasuk UU lain yang belum masuk Omnibus Law Ciptaker.

Charles menambahkan, poin mendasar terkait polemik pasal 170 adalah itu bukanlah kesalahan ketik. Pernyataan Mahfud soal kesalahan ketik tersebut disampaikan untuk menutupi muka pemerintah agar hal itu tidak terus menjadi polemik.

Aturan Baru Industri Maskapai

Di bagian lain, RUU Ciptaker menghapus syarat jumlah kepemilikan pesawat tertentu untuk maskapai berjadwal. Pengamat penerbangan Gatot Raharjo menilai aturan baru itu menjadi angin segar bagi para pengusaha. Hilangnya syarat tersebut bisa menjadi salah satu kemudahan untuk berinvestasi di bidang penerbangan. Sebab, syarat kepemilikan lima pesawat yang semula diwajibkan dirasa cukup berat.

Dia menjelaskan, harga satu pesawat berkisar Rp 500 miliar hingga Rp 1 triliun. Dengan demikian, jika disyaratkan memiliki lima pesawat, pengusaha harus punya modal minimal Rp 2,5 triliun. ”Itu belum termasuk modal untuk lainnya,” tutur Gatot. Ketika persyaratan tersebut dihilangkan, beban pengusaha menjadi lebih ringan. ”Mungkin tujuan pemerintah biar banyak yang mendirikan perusahaan maskapai, terus banyak persaingan dan harga tiketnya jadi murah,” tuturnya.

Namun, lanjut dia, hal itu saja tak cukup untuk mengembalikan kejayaan bisnis penerbangan di Indonesia. Tetap harus ada bantuan khusus agar biaya operasional maskapai jadi ringan. Misalnya, harga avtur diturunkan atau bea masuk spare part dihapus. ”Kemudian, kurs rupiah terhadap dolar juga jangan terlalu tinggi soalnya kebanyakan biaya maskapai pakai dolar,” ungkapnya.

Meski demikian, kebijakan tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah tetap harus punya aturan baru terkait jumlah pesawat yang dioperasikan. Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya kejadian penjualan tiket gila-gilaan tanpa disertai armada memadai. ”Jadi, maskapai tetap harus menguasai pesawat. Ini yang harus dijelaskan pemerintah sebagai konsekuensi dihapusnya ayat kepemilikan tadi,” sambungnya.
Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

BERITA TERKINI

Partisipasi Pemilih Anjlok, BPPNU Jakarta: Segera Evaluasi Tata Laksana Pilkada

Direktur Badan Pemantau Pilkada Nahdlatul Ulama (BPPNU) Jakarta H Abdul Azis Su’aidy Jakarta, JMI - Pemilihan Kepala Daerah (Pil...