WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Tim Petualang Jurnalis Mendatangi Suku Baduy, "Seperti Menemukan Surga"

BANTEN, JMI -- Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman suku dan budaya. Salah satunya adalah Suku Baduy. Suku yang terkenal karena kemampuannya dalam menjaga kelestarian alam sekaligus menjaga kearifan lokal serta adat istiadat.

Pada masa lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin ialah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pejajaran.

Baduy Dalam merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala “kawasan suci” secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kebuyutan “tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang”, bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau “Sunda Asli” atau Sunda Wiwitan “Wiwitan=asli, asal, pokok, jati”. Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

Suku Baduy dibagi menjadi dua golongan, yang publik biasa menyebut Baduy Dalam dan Baduy Luar. Hal paling mendasar yang membedakan dua golongan ini adalah kebiasaan mereka dalam menjalankan aturan adat saat pelaksanaannya.

Suku Baduy dalam ada tiga desa yakni Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Suku ini hidup di alam pegunungan Kendeng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Perjalanan menuju ke suku Baduy dalam dari desa suku Baduy luar tidak mudah, Tim Petualang Jurnalis berjalan kaki selama empat jam, medannya yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan apapun. Rintangan yang di hadapi untuk menuju ke suku Baduy dalam adalah menembus 2 bukit yang ada kaki gunung kendeng, jalannya yang menanjak hingga empat puluh derajat, melintasi empat jembatan yang terbuat dari bambu bambu.

Sesampainya di jempatan masuk perkampungan suku Baduy, Tokoh pemuda suku Baduy melarang Tim Jurnalis agar tidak menyalakan ponsel, kamera, merekam video, semua harus dalam keadaan off/mati. Padahal kami tiba di perbatasan suku Baduy pukul tujuh malam.

“Aturan di sini kami tidak mengijinkan barang barang elektronik anda dinyalakan kecuali senter untuk penerangan, semua harus dalam keadaan mati sampai anda pulang.” Kata Kang Sapri Tokoh pemuda di suku Baduy dalam dan menjadi pendamping kami.

Berbeda dengan Baduy luar, sedikitnya telah terpengaruh oleh budaya luar. Baduy luar sudah ada yang mengunakan listrik, Jam dinding, barang elektronik, peralatan mandi, matrial bangunan, berbeda dengan Baduy dalam mereka memegang teguh adat dan menjalankan aturan dengan baik karena ketua adat yang disebut jaro Tangkir Cibeok tidak mengijinkan barang barang tersebut dipergunakan oleh suku Baduy dalam. 
Desa Baduy dalam, pada malam hari terlihat gelap gulita. Setiap rumah hanya satu lampu penerangan kecil saja yaitu lampu teplok (ditempel di tiang kayu) yang dibuat dari belahan batok kelapa dengan mengunakan minyak sayur dan sumbu kain.

Sedangkan makan mereka mengunakan cangkir, sendok, ceret terbuat dari bahan bambu.

Hal lain yang membedakan adalah cara berpakaian yang dikenakan antara Baduy dalam dan Baduy luar. Dominasi warna putih, untuk laki laki mengunakan kain yang dililit dipinggang 50 centimeter sampai diatas dengkul pengganti celana mirip seperti rok dengan dengan warna hitam dan abu abu garis garis. Sedangkan Baduy luar, seringkali menggunakan pakaian berwarna gelap seperti baju serba hitam atau biru tua dan celana pendek.

Tapak kaki suku Baduy dalam cenderung lebih besar dan lebar dari tapak kaki umumnya, dikarenakan suku Baduy terbiasa berjalan menempuh perjalanan jauh dengan menyeker atau tanpa mengunakan alas kaki.

Kesamaan antara Baduy dalam dan Baduy luar adalah cara bertahan hidup. Umumnya, suku Baduy memiliki mata pencarian sebagai petani. Tak heran, ini karena alamnya yang subur dan berlimpah, mempermudah suku ini menikmati hasil alam untuk kebutuhan sehari hari.

Tim Petualang Jurnalis menyebutnya Jurnalis menemukan surga di Suku Baduy. Karena alamnya yang subur di jaga dengan baik, hasil buminya yang berlimpah dan yang tidak kalah menariknya orang orang suku Baduy dalam, wanita wanitanya berwajah cantik cantik dan laki lakinya ganteng ganteng serta berkulit putih bersih. 

Wajahnya terlihat awet muda, Rata rata usia suku Baduy dalam bisa bertahan hidup hingga 120 tahun, padahal mereka mandi tidak mengunakan sabun, shampoo dan pembersih muka kecuali air sungai yang mengalir dari kaki pegunungan Kendeng. Jumlah penduduk suku Baduy dalam sekitar 600 jiwa.

Selama ratusan tahuan, mata pencaharian utama masyarakat Baduy ialah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji serta madu hutan.

Sama halnya dengan suku-suku lain di Indonesia, Suku Baduy juga memiliki produk seni. Yakni berupa hasil tenun yang diturunkan secara turun temurun. Aturan yang berlaku disuku ini, menenun hanya boleh di lakukan oleh kaum hawa. Selain dipakai sendiri untuk pakai sehari-hari, kain hasil tenunan ini juga diperjual belikan untuk wisatawan.

Kayu bakar menjadi salah satu bahan pokok yang mesti dipenuhi untuk kebutuhan sehari-hari suku Baduy Dalam. Oleh sebab itu, stok kayu bakar harus selalu tersedia di dapur maupun bagian bawah rumah, rumah suku Baduy berbentuk panggung hingga satu meter.

Bahan-bahan konstruksi semacam Paku, batu Bata, Batako atau semen yang lazim digunakan di kota tidak akan ditemui di perkampungan Baduy Dalam. Fungsi semen dan batu bata digantikan oleh kayu, bambu, dan bahan-bahan alami lainnya. 
Potongan-potongan kayu dipakai untuk menopang rumah, anyaman bambu digunakan sebagai lantai dan dinding rumah, sementara bilah-bilah bambu bahkan sanggup dirangkai membentuk jembatan besar yang melintangi sungai.

Untuk merekatkan bahan-bahan tadi, warga Baduy Luar menggunakan serat rotan atau serat kayu yang dapat dengan mudah diperoleh dari hutan.

Suku Baduy Dalam tidak menanam padi di sawah atau lahan basah, tetapi di ladang yang relatif kering. Akibatnya, jenis padi yang dihasilkan pun berbeda dengan padi-padi pada umumnya. Padi ini dikenal sebagai padi huma atau gogo. Selain ditanam di lahan kering, padi huma tidak diberi pupuk kimia sama sekali. 

Padi-padi ini disimpan hanya untuk kebutuhan keluarga di sebuah lumbung yang dinamakan leuit yang jaraknya sekitar 400 meter dari desa. Konon, gabah yang disimpan di leuit mampu bertahan hingga satu abad karena tiadanya kandungan air sama sekali. Ini sebabnya, belum pernah ada catatan krisis pangan yang dialami suku Baduy Dalam.

Faisal 6444/JMI/RED
Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

BERITA TERKINI

Moeldoko Center DPD DAN DPC Provinsi Bali Berbagi Kebahagiaan Akhir Tahun

BALI, JMI - Dalam semangat Natal dan akhir tahun, Moeldoko Center DPD dan DPC Di 3 Kabupaten Provinsi Bali hadir untuk menyebarkan cinta dan...