Prof. Dr. Bambang Saputra, S.H., M.H |
Mengenai kewajiban puasa Ramadhan ini, Allah menyatakan: “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah (2): 183).
Firman Allah yang diabadikan Al-Qur’an ini menegaskan adanya kewajiban ibadah puasa yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW. Banyak para ahli mengungkapkan bahwa puasa adalah salah satu bentuk ibadah yang paling awal, serta ibadah yang paling luas tersebar di kalangan umat manusia sepanjang sejarah.
Mengenai bagaimana praktik puasa yang dilakukan umat-umat terdahulu, tentu terdapat perbedaan dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu masa ke masa yang lain. Bentuk puasa yang umum yaitu berupa sikap selalu menahan diri dari tidak makan dan minum serta dari pemenuhan akan kebutuhan biologis.
Bahkan ada juga puasa berupa penahanan diri untuk tidak bekerja dan malah menahan diri dari tidak berbicara. Al-Qur’an menuturkan puasa semacam itu pernah dijalankan oleh Maryam, ibunda Nabi Isa al-Masih. Karena terancam menjadi buah bibir masyarakat pada waktu itu, bahwa dirinya telah melakukan perbuatan keji, yakni melahirkan seorang putra tanpa bapak. Maka Allah memerintahkan nya untuk berpuasa (shaum) dengan tidak berbicara kepada siapapun juga (QS. Maryam (19): 26).
Jadi pokok amalan lahiriah puasa adalah pengingkaran jasmani dan rohani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya dalam batas waktu tertentu, yakni yang lazim bagi kita sebagai manusia biasa adalah sejak terbit fajar sampai tenggelam nya matahari.
Berkenaan dengan puasa di bulan Ramadhan, disebutkan oleh Ali Ahmad al-Jurjawi bahwa menurut sebagian ahli tafsir bahwa puasa ditetapkan bagi seluruh umat termasuk Yahudi dan Kristen, namun mereka meninggalkannya. Tetapi tidak ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung pandangan seperti itu, kecuali mungkin untuk orang-orang Yahudi dan Kristen yang berada di jazirah Arabia melaksanakan puasa karena terpengaruh atau meneruskan tradisi adat setempat. Sebab ada petunjuk bahwa puasa di bulan Ramadhan itu banyak dilakukan oleh berbagai suku Arab, khususnya suku Quraisy di zaman Jahiliyah.
Puasa merupakan salah satu ibadah yang paling universal, terdapat pada syari’at setiap umat dan bangsa sepanjang zaman, dan merupakan sumber kearifan, wisdom serta hikmah yang paling banyak diamalkan oleh agama-agama. Maka tidak heran bahwa perintah Allah kepada kaum beriman untuk berpuasa disertai keterangan bahwa puasa itu juga diwajibkan kepada umat-umat terdahulu.
Keutamaan puasa merupakan sarana pendidikan tanggung-jawab pribadi yang disyariatkan oleh Tuhan kepada manusia. Ia bertujuan menggembleng jiwa manusia agar mempunyai kesadaran dan keinsyafanakan Maha-hadirnya Tuhan yang senantiasa mengawasi dan menyertainya di dalam setiap waktu, tempat dan keadaan. Atas dasar keinsyafan itu diharapkan manusia dapat menjalani hidup dengan penuh kesungguhan dan keprihatinan, sebab apapun yang diperbuat manusia di dunia ini bakal dimintai pertanggung-jawaban di hadapan Sang Khalik secara pribadi di akhirat kelak.
Membahas secara panjang-lebar dan mendalam tentang hikmah dan keutamaan puasa Ramadhan mungkin bukanlah di sini tempatnya, tetapi setidaknya dari keterangan di atas dan informasi tentang puasa yang kita terima selama ini, dapatlah terpahami bahwa puasa merupakan kewajiban bagi manusia beriman untuk membimbing jiwanya menuju ketakwaan kepada Tuhan Sang Maha Pencipta.
Maka dari itu makna fungsional puasa Ramadhan yang kita jalankan sekarang ini sebaiknya dapat memberikan dampak sosial bagi orang banyak, yaitu bagaimana dengan dilaksanakannya praktek ritual tersebut bisa mengurangi penderitaan jutaan keluarga miskin di Indonesia, yang mungkin salah satu penyebab utamanya adalah akibat efek domino dari kebijakan-kebijakan pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang kurang tepat dan tidak berpihak kepada rakyat.
Pembelajaran berharga ritual tahunan (puasa) ini, merupakan pengayaan pengalaman bagi mereka yang bergelimang kemewahan harta dan kekuasaan. Tujuannya adalah agar mereka ikut merasakan kepedihan hidup yang serba kekurangan, penyakitan bahkan kelaparan. Ritual puasa sejatinya lebih fungsional bagi orang-orang kaya dan berkuasa, ketimbang untuk orang-orang miskin yang setiap hari bekerja keras dalam kondisi fisik lemah akibat mengkonsumsi makanan tak bergizi, atau bahkan sebenarnya mereka memang kurang makan.
Milyaran umat Islam di dunia dan termasuk di negeri ini menyambut kedatangan bulan suci dengan beragam cara dan tradisi. Untuk mengurangi kejahatan, umat Islam meyakini bahwa barang siapa yang memenuhi kewajiban puasa dengan penuh ketaatan dijamin akan meraih ketakwaan dan kebahagiaan hakiki. Artinya bebas dari godaan maksiat, kecurangan, kebiadaban dan tindakan mungkar lainnya yang mengarah kepada pelanggaran terhadap perintah Tuhan.
Meskipun demikian, fakta dilapangan menunjukkan tindakan maksiat dan kemungkaran, korupsi dan kejahatan sejenisnya semakin tidak peduli terhadap penderitaan dan kesengsaraan orang banyak, egoisme surgawi dan penyalahgunaan kekuasaan justru tidak surut, bahkan cenderung semakin merajalela dengan kualitas kebobrokan yang “semakin hari semakin meningkat”.
Walaupun di rezim pemerintah sekarang ini sangat mendukung diperanginya korupsi, tetapi masih banyak oknum-oknum pejabat yang tertangkap tangan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena korupsi seakan tiada henti. Sungguh mereka itu tak lebih dari segerombolan “srigala” yang hidup dari subsidi “darah” orang miskin, dan membangun kemewahan dari aliran “air-mata” orang melarat, serta wara-wiri pelesiran di atas pedihnya “luka” orang-orang yang tak berpunya.
Pertanyaan penting setiap kali memasuki bulan Ramadhan adalah bagaimana pemenuhan kewajiban ritual itu benar-benar berfungsi mengurangi kejahatan kemanusiaan tersebut. Soal perolehan pahala bagi mereka yang menjalani puasa secara sadar dan penuh ketaatan adalah suatu yang tidak perlu diragukan, karena itu merupakan kepastian sesuai janji Allah sendiri. Namun yang paling penting bagi kita bagaimana dengan pengalaman puasa itu mendatangkan manfaat berupa pembebasan atas belenggu kesengsaraan orang banyak.
Ritual puasa bukanlah sekedar di siang hari menahan diri untuk tidak makan dan minum atau tidak memenuhi hasrat biologis, tidak berkata-kata kotor, dan hal-hal yang membatalkan pahalanya. Puasa bukanlah kewajiban yang harus dibebankan bagi si miskin dan lemah secara fisik. Kewajiban ibadah tahunan ini lebih ditujukan kepada mereka yang kaya dan kuasa. Bagi si miskin sehari hanya makan sekali merupakan hal yang lumrah dan tidak mengherankan, tetapi bagi mereka yang kaya dan berkuasa, nilai makanan yang dimakannya bisa meningkat berlipat-lipat biayanya, bahkan biayanya sehari cukup untuk membiayai makanan si miskin selama seminggu.
Jika masyarakat luas menyadari betapa pentingnya nilai puasa untuk membentuk kesadaran sosial, mengapa sebagian orang kaya dan berkuasa justru tidak memberhentikan kejahatan sosialnya. Masyarakat secara umum beramai-ramai dengan penuh semangat mengentaskan beban-beban kemiskinan, mengurangi kesengsaraan banyak orang dengan membayar zakat fitrah. Akan tetapi banyak orang kaya dan berkuasa justru tambah asik menggerogoti uang rakyat, dan bukan mengurangi kesengsaraan rakyat tapi malah menambahi beban yang dipikul dengan penuh kepedihan.
Apabila dinilai dari seberapa besarnya kita membayar zakat, mungkin bagi si kaya dan yang berkuasa tidaklah akan berarti apa-apa, tetapi yang terpenting adalah bagaimana dengan zakat yang kita bayarkan setidaknya bisa mengurangi beban penderitaan orang lain. Kemudian jika secara kolektif pembayaran zakat dikumpulkan maka akan menumbuhkan semangat solidaritas yang tinggi untuk membebaskan kesengsaraan nasip saudara-saudara kita yang berada di dalam jurang-jurang kemiskinan. Inilah makna hakikat zakat fitrah yaitu kewajiban pribadi berdasarkan kesucian asalnya, namun memiliki konsekuensi yang sangat jelas bagi kebaikan orang banyak.
Dampak ideal yang muncul dari ibadah puasa itu adalah takwa yaitu berupa kesadaran melalui sikap patuh dan tunduk hanya kepada Tuhan, yang selanjutnya melandasi setiap individu untuk mendalami keinsyafan akan Tuhan yang selalu mengawal dan menyertai kita dalam setiap waktu, tempat dan keadaan. Maka ini harus dijelmakan berupa kesadaran akan tanggung-jawab sosial sesama umat manusia.
Sejatinya antara tanggung-jawab pribadi dengan tanggung-jawab sosial merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, laksana dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan karena antara yang satu dengan yang lainnya saling menunjang. Sehingga setelah puasa Ramadhan berlalu manusia itu idealnya kembali dalam keadaan fitrah yakni suci, yang maksudnya adalah segala bentuk kejahatan sosial, korupsi dan kecurangan yang menyengsarakan orang banyak, sudah tidak melekat dalam diri seseorang yang memang benar-benar menjalankan ibadah puasa itu.
Puasa Ramadhan bukanlah tradisi “musiman-tahunan” bagi umat manusia, tetapi puasa adalah kewajiban ibadah yang disyariatkan Tuhan bagi kaum beriman untuk dijalankan dengan penuh perasaan yang tulus. Jika manusia menjalankan puasa karena tradisi itu maka setelah musimnya berlalu tidak akan meninggalkan kesan spiritual apapun dan tidak akan berdampak baik dalam jiwa nya maupun dalam kehidupan sosialnya, kecuali hanya memindahkan larangan puasa yang bersifat lahiri seperti, tidak makan dan minum dari malam hari menjadi siang hari.
Manusia harus memandang dan menjalankan puasa itu atas dasar kesungguhan iman terhadap suatu ibadah yang ditetapkan oleh agama Allah, sehingga setelah puasa Ramadhan berlalu jiwanya akan merintih penuh kesedihan dan penghayatan, apakah dirinya masih memiliki kesempatan untuk bertemu lagi dengan Ramadhan yang akan datang. Kemudian puasa Ramadhan yang sebulan penuh dijalankan akan memberi kesan dan kenangan seumur hidupnya.
Jadi apabila puasa itu benar-benar dijalankan dengan segenap keimanan dan ketakwaan atas suatu kewajiban dari Tuhannya, tentu akan membawa manusia itu kepada keselamatan jiwanya sendiri, dengan meninggalkan segala bentuk kejahatan sosial apapun yang dilakukannya, hingga menghantarkannya kepada kesuciannya. Dan jika kesucian itu terus tertancap dalam jiwa kita, maka kita tidak akan pernah menyimpang dari kebenaran.
Kemudian ketika kelak menghadap kehadirat Ilahi, kita tidak lagi terbebani dengan tanggung-jawab akibat busuknya perilaku kita sendiri.
PENULIS : Prof. Dr. Bambang Saputra, S.H., M.H
TEAM/JMI/RED
0 komentar :
Posting Komentar