JAKARTA, JMI -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tiga tersangka kasus suap penanganan perkara penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB) Tahun 2019. Ketiganya ditahan di rumah tahanan (rutan) yang berbeda.
Tiga tersangka itu, yakni Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram Kurniadie (KUR), Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin (YRI), dan Direktur PT Wisata Bahagia atau pengelola Wyndham Sundancer Lombok Liliana Hidayat (LIL). "Ditahan untuk 20 hari pertama. KUR di Rutan Cabang KPK di gedung KPK lama, YRI di Rutan Cabang di Pomdam Jaya Guntur, dan LIL di Rutan Cabang KPK di belakang Gedung Merah Putih KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (29/5).
Untuk diketahui sebagai penerima dalam kasus itu, yaitu Kurniadie dan Yusriansyah Fazrin. Sedangkan sebagai pemberi, yaitu Liliana Hidayat.
Dalam konstruksi perkara kasus itu, dijelaskan bahwa Penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal. "Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa tetapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian," ungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa (28/5) malam.
Merespons penangkapan tersebut, lanjut Alex, Liliana perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram. Negosiasi itu dilakukan agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.
"Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan untuk dua WNA tersebut tanggal 22 Mei 2019. YRI kemudian menghubungi LIL untuk mengambil SPDP tersebut," kata Alex.
Permintaan pengambilan SPDP itu diduga sebagai kode untuk menaikkan harga untuk menghentikan kasus. LIL kemudian menawarkan uang sebesar Rp 300 juta untuk menghentikan kasus tersebut, namun YRI menolak karena jumlahnya sedikit.
"Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut YIR berkoordinasi dengan atasannya KUR. Selanjutnya, diduga terjadi pertemuan antara YRI dan LIL untuk kembali membahas negosiasi harga," tuturnya.
Dalam OTT itu, KPK mengungkap modus baru yang digunakan Yusriansyah, Liliana, dan Kurniadie dalam negosiasi uang suap, yaitu menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara. Kemudian, Yusriansyah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan.
"Akhirnya disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara dua WNA tersebut adalah Rp 1,2 miliar," kata Alex.
Tiga tersangka itu, yakni Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram Kurniadie (KUR), Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin (YRI), dan Direktur PT Wisata Bahagia atau pengelola Wyndham Sundancer Lombok Liliana Hidayat (LIL). "Ditahan untuk 20 hari pertama. KUR di Rutan Cabang KPK di gedung KPK lama, YRI di Rutan Cabang di Pomdam Jaya Guntur, dan LIL di Rutan Cabang KPK di belakang Gedung Merah Putih KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (29/5).
Untuk diketahui sebagai penerima dalam kasus itu, yaitu Kurniadie dan Yusriansyah Fazrin. Sedangkan sebagai pemberi, yaitu Liliana Hidayat.
Dalam konstruksi perkara kasus itu, dijelaskan bahwa Penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal. "Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa tetapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian," ungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa (28/5) malam.
Merespons penangkapan tersebut, lanjut Alex, Liliana perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram. Negosiasi itu dilakukan agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.
"Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan untuk dua WNA tersebut tanggal 22 Mei 2019. YRI kemudian menghubungi LIL untuk mengambil SPDP tersebut," kata Alex.
Permintaan pengambilan SPDP itu diduga sebagai kode untuk menaikkan harga untuk menghentikan kasus. LIL kemudian menawarkan uang sebesar Rp 300 juta untuk menghentikan kasus tersebut, namun YRI menolak karena jumlahnya sedikit.
"Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut YIR berkoordinasi dengan atasannya KUR. Selanjutnya, diduga terjadi pertemuan antara YRI dan LIL untuk kembali membahas negosiasi harga," tuturnya.
Dalam OTT itu, KPK mengungkap modus baru yang digunakan Yusriansyah, Liliana, dan Kurniadie dalam negosiasi uang suap, yaitu menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara. Kemudian, Yusriansyah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan.
"Akhirnya disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara dua WNA tersebut adalah Rp 1,2 miliar," kata Alex.
0 komentar :
Posting Komentar