JAKARTA, JMI -- Acara bedah buku karangan Prof. Dr. Bambang Saputra, SH,. MH dengan judul Kado Anak Negeri untuk Sang Presiden yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center, 11 Februari 2019.
Sebagai acara yang bergengsi dan di hadiri oleh berbagai kalangan dan juga para akademisi dan guru besar diantaranya, Prof. Prof. Dr. Triyuni Sumarsono, Prof. Dr Juhaya S. Praja, Drs Jajang Suherman, MM, MSc, Dharmawati P. Sari, ST. MSc dan Andi Rina Hata, S.Sos, S.Psi, M.Psi, juga banyak yang lainnya para cendikiawan berbagai disiplin ilmu dan juga pejabat Pemerintah, relawan pendukung Capres Cawapres No. 1 dan No 2.dan elemen masyarakat lainnya yang juga advokat muda Meldy, SH, MH.
Acara tersebut di buka oleh Dr. Johno Supriyanto dari Kemenkumham RI selain yang menarik tentang isi buku yang sangat berkualitas dari sisi ilmiah dan populer terkait momentum Politik saat ini juga yang menarik bedah buku tersebut di isi dengan pemutaran film pendek yang berbicara tentang anak negeri dan pembangunan di Indonesia yang juga Bambang Saputra sosok Profesor termuda di Asia ini ikut sebagai pemerannya.
Acara bedah buku yang dikemas dengan DIALOG KEBANGSAAN juga di isi dengan baca puisi oleh Prof. Bambang Saputra yang juga hasil karyanya, yang menarik lagi para narasumber yang berbobot dengan berbagai keahlian dan disiplin ilmu dan pengalaman, yaitu hadir narasumber sosok Kaspudin Nor seorang akademisi dan berpengalanan dibidang praktisi hukum selaku advokat senior yang juga mantan komisioner komisi Kejaksaan RI dan sekarang juga sebagai komisi pengawas advokat Pusat Perhimpunan Advokat Indonesia PERADI dan juga anggota Komisi Hukum Perundang-Undangan MUI Pusat dan Ketua Satgas Reformasi Hukum dan Advokasi perlindungan anak LPAI Pusat yang telah banyak dikenal publik mengenai pandangan kebangsaannya.
Menurut Kaspudin bahwa isi buku selain sangat berkualitas baik dibidang kajian ilmiahnya juga buku karangan Prof. Bambang Saputra berisi pesan moral kepada anak bangsa dan khususnya pemimpin di negeri ini agar dalam tugasnya kembali dengan dasar nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada ke tuhan sebagai bentuk kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara.
Menurut Kaspudin juga penulisnya Prof. Bambang Saputra adalah sosok anak bangsa selain cendikiawan, seniman dan rohaniawan. Kajian terhadap buku ini juga dibahas dengan kajian yang ilmiah dan pengalaman impirik secara mendalam oleh narasumber yaitu Prof. Dr. Faisar A. Arfa. SH, MH. dengan ulasannya, yaitu:
Buku ini ditulis dan dipublish dalam momentum yang tepat sehingga terkesan bahwa buku ini dapat berfungsi sebagai bacaan acuan bagi para pemimpin negeri ini secara umum dan Presiden secara khusus dalam memahami tentang karakter anak bangsa ini yang mayoritasnya memiliki karakter kecenderungan terhadap nilai nilai religiusitas yang tinggi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang mereka pergakan sehari hari.
Buku ini kalau ditinjau dari kepustakaan Islamic studies mungkin dapat dikategorikan sebagai buku yang ditulis dengan pendekatan fenomenologis yang berharap mampu mencerminkan eidetic vision dari sang penulis meskipun sisi epoche penulisnya mungkin masih bisa dipertanyakan.
Buku ini mungkin juga dapat mewakili sebuah karya yang bernuansa Postmodernisme yaitu satu kondisi yang melampaui modernisme yang dianggap gagal dalam memenuhi ekspektasi manusia di dalam meraih kehidupan yang sejahtera sehingga terkesan dibutuhkan lompatan yang cukup radikal untuk mengubah wajah dunia dengan tawaran baru yang dapat disebut sebagai Postmodernisme.
Tantangan postmodernisme ternyata tetap mengarahkan pelurunya kepada agama terutama agama Islam yang selalu dipahami secara stagnan oleh para pengikutnya sehingga terlihat tertatih tatih dalam menghadapi tantangan modernitas apalagi post modernisme ini. Buku ini mungkin menawarkan kepada pembacanya bagaimana membaca fenomena yang ada dengan kacamata agama terutama Islam dalam merespon kehidupan anak bangsa yang berdasarkan Pancasila.
Buku ini secara berani mengaktualisasikan bahwa ajaran dan nilai nilai Islam yang terkandung dalam Alquran merupakan nilai nilai yang intrinsik dalam masyarakat Indonesia sejak berabad abad yang lalu dan nyaris tenggelam ke dasar yang dalam ketika kehidupan anak bangsa mendapat ancaman yang cukup serius dari perkembangan moralitas dunia yang bersifat pragmatis dan hedonis.
Buku ini seperti mencoba membangkitkan batang yang terendam tapi dengan metode yang cukup canggih sehingga pembacanya mendapat kesan, buku ini seperti Pelita yang dinyalakan di tengah kegelapan meskipun kecil tapi upaya ini patut diapresiasi daripada terus menerus hanya nyinyir terhadap kegelapan yang terjadi.
Mengangkat dua istilah yang sangat Islami dan merupakan inti dari ajaran Islam jelas bukan pekerjaan yang mudah karena buku ini akan sangat cepat dijudge sebagai tulisan yang sangat fundamentalis, satu istilah yang kebanyakan dari anak bangsa alergi mendengarnya. Begitu pun karena dikemas dalam bahasa yang populis kedua istilah tersebut dapat menyentuh relung hati semua pembacanya apa pun nama agamanya kecuali mungkin yang atheis. Kedua istilah tersebut merupakan antonim satu sama lain yakni TAUHID DAN SYIRIK.
Sebenarnya dua istilah ini bukanlah domain bagi satu agama tertentu tapi merupakan Domain Agama Allah yakni Islam substantif bukan Islam simbolik. Agama yang diturunkan Allah kepada Rasulnya yang berjumlah 25 orang itu sama yakni Perintah untuk menTAUHIDkan Allah sebagai satu satunya Tuhan semesta alam dan larangan untuk berlaku SYIRIK yaitu mempercayai ada kekuatan yang mampu menandingi sang KHALIK.
Para Rasul dimulai dari Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad semua mereka mengajarkan kepada Umatnya untuk menyembah dan mengabdikan hidup hanya kepada Tuhan Yang Satu Tuhan sesmesta alam Rabul Alamin dan Melarang umatnya untuk bersikap musyrik menyembah BERHALA.
Penulis buku ini secara sadar mencoba untuk merevitalisasi ajaran Tuhan yang sangat esensil yakni menyadarkan manusia sebagai makhluk individu bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan Yang satu Tuhan yang sama karena kalau mereka melihat satu sama lain dan berbaris lurus ke belakang hanya akan terlihat satu kesatuan yang jelas dan utuh bahwa ternyata wajah mereka sama.
Letak komposisi wajah mereka sama mulai dari letak mata, hidung, mulut dan telinga serta anatomi tubuh mereka yang sama, letak kepala dan kaki mereka sama dengan sangat jelas mengatakan bahwa Tuhan Yang Menciptakan mereka Satu dan sama. Itu lah TAUHID
Begitu pun penulis ini tidak bicara ini sebagai konsep yang bersifat individual. Dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa dia berani memasukkan kedua konsep ini ke dalam realita kehidupan Komunal dan menyeretnya ke dalam kehidupan Politik. Bagian Pertama dari outline buku ini bicara tentang Menguak Kemusyrikan Yang Tersamarkan, satu bahasan yang merangsang pembacanya untuk menuju halaman ketika sang penulis menggambarkan betapa syirik itu bisa punya pesona dalam dunia modern.
Para pelakunya yang justru terkadang mengaku sangat bertuhan itu tanpa sadar mereka terjebak dalam rutinitas syirik yang tersamarkan oleh gemerlapnya cahaya modernitas. Bagian kedua dari buku ini malah mendiskripsikan kembali Reinkarnasi Berhala Sosial di Era Modern. Pembahasan ini menjadi menarik karena Orang orang yang hidup di zaman al-An menganggap berhala itu masa lalu milik kaum Jahiliah. Namun penulis buku ini dengan kepiawaiannya berhasil meunjukkan bahwa berhala itu bukan benda tapi konsep. Hanya kalau zaman jahiliyah bentuknya Patung latta Uzza dan Manat di zaman Modern ini berhala manusia bisa dalam bentuk Spiritual, Pengetahuan, Media Hiburan Kapitalisme Hedonisme dan Egoisme.
Bagian ketiga buku ini Last but not least dan menjadi sentral dari pemikiran sang penulis adalah upayanya dalam Membongkar Berhala Sosial-Politik di era Indonesia Modern. Dengan sangat gamblang dan berani namun tetap santun sang penulis menunjukkan kepada para pelaku politik yang terdiri para profesional di bidangnya masing masing termasuk militer, sipil, pengusaha, Agamawan dsb, bahwa tingkah laku mereka dalam berpolitik sangat berpotensi menghancurkan masa depan negeri ini bila mereka memberhalakan segala sesuatu dan menyembahnya seperti menyembah tuhan dalam mencapai ambisi dan tujuan politik mereka yakni Kekuasaan.
Penulis mencoba menyadarkan para politikus negeri ini bahwa meskipun politik itu penuh intrik dan kekuasan itu cenderung korup tapi mereka diingatkan bahwa ada dimensi ibadah dalam melakukan kegiatan tersebut sehingga mereka perlu memperbaiki Nawaitu mereka dalam berpolitik memajukan negara dan bangsa bukan individu dan kelompok sendiri.
Kemudiaan penulis menjelaskan tentang kriteria sang pemimpin menurut Kitab Suci yang mengesankan bahwa Pemimpin itu adalah Wakil Tuhan di muka bumi yang bertugas mensejahterakan ummat manusia secara keseluruhan bukan hanya anak bangsa yang memilihnya,
Ajaran Tauhid kembali dihidupkan penulis untuk menekankan pentingnya ajaran tersebut menjadi dasar kebijakan dari semua Pemimpin yang caranya adalah dengan menegakkan keadilan dalam semua sektor kehidupan masyarakat seperti keadilan ekonomi dan keadilan hukum dua keadilan yang sangat fundamental dalam masyarakat dan negara.
Akhirnya penulis membahas tentang hubungan antara agama Islam dengan kekuasaaan, sebab agama tidak mungkin tanpa kekuasaan, keadilan tidak mungkin tegak tanpa adanya kesungguhan para pemuka agama dan pemegang kekuasaan. Namun semua ini baru bisa tercapai bila semua pihak tidak Memberhalakan kekuasaan sehinga melakukan apa yang disebut THE END JUSTIFIES THE MEAN, seperti menyebar fitnah dan hoax.
TEAM/JMI/RED
Sebagai acara yang bergengsi dan di hadiri oleh berbagai kalangan dan juga para akademisi dan guru besar diantaranya, Prof. Prof. Dr. Triyuni Sumarsono, Prof. Dr Juhaya S. Praja, Drs Jajang Suherman, MM, MSc, Dharmawati P. Sari, ST. MSc dan Andi Rina Hata, S.Sos, S.Psi, M.Psi, juga banyak yang lainnya para cendikiawan berbagai disiplin ilmu dan juga pejabat Pemerintah, relawan pendukung Capres Cawapres No. 1 dan No 2.dan elemen masyarakat lainnya yang juga advokat muda Meldy, SH, MH.
Acara tersebut di buka oleh Dr. Johno Supriyanto dari Kemenkumham RI selain yang menarik tentang isi buku yang sangat berkualitas dari sisi ilmiah dan populer terkait momentum Politik saat ini juga yang menarik bedah buku tersebut di isi dengan pemutaran film pendek yang berbicara tentang anak negeri dan pembangunan di Indonesia yang juga Bambang Saputra sosok Profesor termuda di Asia ini ikut sebagai pemerannya.
Acara bedah buku yang dikemas dengan DIALOG KEBANGSAAN juga di isi dengan baca puisi oleh Prof. Bambang Saputra yang juga hasil karyanya, yang menarik lagi para narasumber yang berbobot dengan berbagai keahlian dan disiplin ilmu dan pengalaman, yaitu hadir narasumber sosok Kaspudin Nor seorang akademisi dan berpengalanan dibidang praktisi hukum selaku advokat senior yang juga mantan komisioner komisi Kejaksaan RI dan sekarang juga sebagai komisi pengawas advokat Pusat Perhimpunan Advokat Indonesia PERADI dan juga anggota Komisi Hukum Perundang-Undangan MUI Pusat dan Ketua Satgas Reformasi Hukum dan Advokasi perlindungan anak LPAI Pusat yang telah banyak dikenal publik mengenai pandangan kebangsaannya.
Menurut Kaspudin bahwa isi buku selain sangat berkualitas baik dibidang kajian ilmiahnya juga buku karangan Prof. Bambang Saputra berisi pesan moral kepada anak bangsa dan khususnya pemimpin di negeri ini agar dalam tugasnya kembali dengan dasar nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada ke tuhan sebagai bentuk kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara.
Menurut Kaspudin juga penulisnya Prof. Bambang Saputra adalah sosok anak bangsa selain cendikiawan, seniman dan rohaniawan. Kajian terhadap buku ini juga dibahas dengan kajian yang ilmiah dan pengalaman impirik secara mendalam oleh narasumber yaitu Prof. Dr. Faisar A. Arfa. SH, MH. dengan ulasannya, yaitu:
Buku ini ditulis dan dipublish dalam momentum yang tepat sehingga terkesan bahwa buku ini dapat berfungsi sebagai bacaan acuan bagi para pemimpin negeri ini secara umum dan Presiden secara khusus dalam memahami tentang karakter anak bangsa ini yang mayoritasnya memiliki karakter kecenderungan terhadap nilai nilai religiusitas yang tinggi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang mereka pergakan sehari hari.
Buku ini kalau ditinjau dari kepustakaan Islamic studies mungkin dapat dikategorikan sebagai buku yang ditulis dengan pendekatan fenomenologis yang berharap mampu mencerminkan eidetic vision dari sang penulis meskipun sisi epoche penulisnya mungkin masih bisa dipertanyakan.
Buku ini mungkin juga dapat mewakili sebuah karya yang bernuansa Postmodernisme yaitu satu kondisi yang melampaui modernisme yang dianggap gagal dalam memenuhi ekspektasi manusia di dalam meraih kehidupan yang sejahtera sehingga terkesan dibutuhkan lompatan yang cukup radikal untuk mengubah wajah dunia dengan tawaran baru yang dapat disebut sebagai Postmodernisme.
Tantangan postmodernisme ternyata tetap mengarahkan pelurunya kepada agama terutama agama Islam yang selalu dipahami secara stagnan oleh para pengikutnya sehingga terlihat tertatih tatih dalam menghadapi tantangan modernitas apalagi post modernisme ini. Buku ini mungkin menawarkan kepada pembacanya bagaimana membaca fenomena yang ada dengan kacamata agama terutama Islam dalam merespon kehidupan anak bangsa yang berdasarkan Pancasila.
Buku ini secara berani mengaktualisasikan bahwa ajaran dan nilai nilai Islam yang terkandung dalam Alquran merupakan nilai nilai yang intrinsik dalam masyarakat Indonesia sejak berabad abad yang lalu dan nyaris tenggelam ke dasar yang dalam ketika kehidupan anak bangsa mendapat ancaman yang cukup serius dari perkembangan moralitas dunia yang bersifat pragmatis dan hedonis.
Buku ini seperti mencoba membangkitkan batang yang terendam tapi dengan metode yang cukup canggih sehingga pembacanya mendapat kesan, buku ini seperti Pelita yang dinyalakan di tengah kegelapan meskipun kecil tapi upaya ini patut diapresiasi daripada terus menerus hanya nyinyir terhadap kegelapan yang terjadi.
Mengangkat dua istilah yang sangat Islami dan merupakan inti dari ajaran Islam jelas bukan pekerjaan yang mudah karena buku ini akan sangat cepat dijudge sebagai tulisan yang sangat fundamentalis, satu istilah yang kebanyakan dari anak bangsa alergi mendengarnya. Begitu pun karena dikemas dalam bahasa yang populis kedua istilah tersebut dapat menyentuh relung hati semua pembacanya apa pun nama agamanya kecuali mungkin yang atheis. Kedua istilah tersebut merupakan antonim satu sama lain yakni TAUHID DAN SYIRIK.
Sebenarnya dua istilah ini bukanlah domain bagi satu agama tertentu tapi merupakan Domain Agama Allah yakni Islam substantif bukan Islam simbolik. Agama yang diturunkan Allah kepada Rasulnya yang berjumlah 25 orang itu sama yakni Perintah untuk menTAUHIDkan Allah sebagai satu satunya Tuhan semesta alam dan larangan untuk berlaku SYIRIK yaitu mempercayai ada kekuatan yang mampu menandingi sang KHALIK.
Para Rasul dimulai dari Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad semua mereka mengajarkan kepada Umatnya untuk menyembah dan mengabdikan hidup hanya kepada Tuhan Yang Satu Tuhan sesmesta alam Rabul Alamin dan Melarang umatnya untuk bersikap musyrik menyembah BERHALA.
Penulis buku ini secara sadar mencoba untuk merevitalisasi ajaran Tuhan yang sangat esensil yakni menyadarkan manusia sebagai makhluk individu bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan Yang satu Tuhan yang sama karena kalau mereka melihat satu sama lain dan berbaris lurus ke belakang hanya akan terlihat satu kesatuan yang jelas dan utuh bahwa ternyata wajah mereka sama.
Letak komposisi wajah mereka sama mulai dari letak mata, hidung, mulut dan telinga serta anatomi tubuh mereka yang sama, letak kepala dan kaki mereka sama dengan sangat jelas mengatakan bahwa Tuhan Yang Menciptakan mereka Satu dan sama. Itu lah TAUHID
Begitu pun penulis ini tidak bicara ini sebagai konsep yang bersifat individual. Dengan kecerdasan dan keberanian yang luar biasa dia berani memasukkan kedua konsep ini ke dalam realita kehidupan Komunal dan menyeretnya ke dalam kehidupan Politik. Bagian Pertama dari outline buku ini bicara tentang Menguak Kemusyrikan Yang Tersamarkan, satu bahasan yang merangsang pembacanya untuk menuju halaman ketika sang penulis menggambarkan betapa syirik itu bisa punya pesona dalam dunia modern.
Para pelakunya yang justru terkadang mengaku sangat bertuhan itu tanpa sadar mereka terjebak dalam rutinitas syirik yang tersamarkan oleh gemerlapnya cahaya modernitas. Bagian kedua dari buku ini malah mendiskripsikan kembali Reinkarnasi Berhala Sosial di Era Modern. Pembahasan ini menjadi menarik karena Orang orang yang hidup di zaman al-An menganggap berhala itu masa lalu milik kaum Jahiliah. Namun penulis buku ini dengan kepiawaiannya berhasil meunjukkan bahwa berhala itu bukan benda tapi konsep. Hanya kalau zaman jahiliyah bentuknya Patung latta Uzza dan Manat di zaman Modern ini berhala manusia bisa dalam bentuk Spiritual, Pengetahuan, Media Hiburan Kapitalisme Hedonisme dan Egoisme.
Bagian ketiga buku ini Last but not least dan menjadi sentral dari pemikiran sang penulis adalah upayanya dalam Membongkar Berhala Sosial-Politik di era Indonesia Modern. Dengan sangat gamblang dan berani namun tetap santun sang penulis menunjukkan kepada para pelaku politik yang terdiri para profesional di bidangnya masing masing termasuk militer, sipil, pengusaha, Agamawan dsb, bahwa tingkah laku mereka dalam berpolitik sangat berpotensi menghancurkan masa depan negeri ini bila mereka memberhalakan segala sesuatu dan menyembahnya seperti menyembah tuhan dalam mencapai ambisi dan tujuan politik mereka yakni Kekuasaan.
Penulis mencoba menyadarkan para politikus negeri ini bahwa meskipun politik itu penuh intrik dan kekuasan itu cenderung korup tapi mereka diingatkan bahwa ada dimensi ibadah dalam melakukan kegiatan tersebut sehingga mereka perlu memperbaiki Nawaitu mereka dalam berpolitik memajukan negara dan bangsa bukan individu dan kelompok sendiri.
Kemudiaan penulis menjelaskan tentang kriteria sang pemimpin menurut Kitab Suci yang mengesankan bahwa Pemimpin itu adalah Wakil Tuhan di muka bumi yang bertugas mensejahterakan ummat manusia secara keseluruhan bukan hanya anak bangsa yang memilihnya,
Ajaran Tauhid kembali dihidupkan penulis untuk menekankan pentingnya ajaran tersebut menjadi dasar kebijakan dari semua Pemimpin yang caranya adalah dengan menegakkan keadilan dalam semua sektor kehidupan masyarakat seperti keadilan ekonomi dan keadilan hukum dua keadilan yang sangat fundamental dalam masyarakat dan negara.
Akhirnya penulis membahas tentang hubungan antara agama Islam dengan kekuasaaan, sebab agama tidak mungkin tanpa kekuasaan, keadilan tidak mungkin tegak tanpa adanya kesungguhan para pemuka agama dan pemegang kekuasaan. Namun semua ini baru bisa tercapai bila semua pihak tidak Memberhalakan kekuasaan sehinga melakukan apa yang disebut THE END JUSTIFIES THE MEAN, seperti menyebar fitnah dan hoax.
Narasumber
lainnya, yaitu: Dr. Arrary Hasym, MA, Drs. Aminudin Yaqub, MA, Vasco Ruseimy.
ST, Jalal Mardhani yang tentunya memberikan pandangan - Pandangan yang juga sangat
mengapresiasi dari sudut bahasa dan perbandingan-perbandingan dari landasan berpikir dari
tokoh terkemuka yang intinya buku karangan Prof. Bambang Saputra yang di beri
judul KADO ANAK NEGERI UNTUK SANG PRESIDEN enak di baca dan patut direnungkan
dan di wujudkan bagi anak bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Acara bedah buku ini di pandu oleh Kang Herry Suherman, SH yang dalam memandu
acara tersebut sangat hidup dan menarik walau acara tersbut nemakan waktu hampir
3 jam namun seakan tidak cukup waktu.
TEAM/JMI/RED
0 komentar :
Posting Komentar