JAKARTA, JMI -- Hak orang sakit jiwa untuk mencoblos menuai polemik lagi. Jauh sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberi penafsiran soal hak-hak politik orang sakit jiwa.
Pertimbangan itu dituangkan dalam putusan nomor 135/PUU-XIII/2015. "Dapat memahami bahwa dalam interaksi masyarakat sehari-hari istilah gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan selalu dibayangkan sebagai kondisi 'gila', atau yang secara medis disebut sebagai sakit jiwa (psikosa). Padahal sebenarnya 'gila' hanya satu jenis dari abnormalitas mental," demikian pertimbangan MK sebagaimana dikutip detikcom, Senin (14/1/2019).
Putusan diputus terkait permohonan Perhimpunan Jiwa Sehat dkk. Putusan diketok secara bulat oleh Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Maria Farida Indrati, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar pada 27 September 2016.
"Adapun jenis abnormalitas mental lain adalah gangguan jiwa (neurosa), yang memiliki rentang kategori sangat luas," ucap majelis.
Keluasan rentang kategori gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan dalam bahasa sehari-hari terlihat dari berbagai istilah, antara lain "stres", "cemas", "paranoid", "latah", "fobia", dan "pikiran buruk". Tentu tidaklah sama kondisi antara orang dengan gangguan jiwa semisal psikosis dengan orang yang "hanya" mengalami stres dalam kadar ringan.
"Kerancuan persepsi demikian, yang saat ini tidak dapat dihindari terjadinya di dalam masyarakat, harus mulai dibenahi demi mencegah perlakuan yang tidak tepat kepada orang dengan gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan," papar majelis.
Putusan pengadilan memiliki posisi penting untuk ikut menjernihkan berbagai kerancuan yang cenderung menimbulkan stigmatisasi serta perlakuan yang tidak tepat kepada orang dengan gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan tersebut.
"Seandainya yang dimaksud oleh pembentuk UU bahwa orang yang dikecualikan dari pencatatan pemilih adalah orang dengan psikosis (gila), yang memiliki ciri antara lain hidup menggelandang, makan sembarangan, bersifat asosial, bahkan tidak menyadari keberadaan dirinya sendiri, hal demikian menurut Mahkamah tidak perlu diatur secara khusus karena orang dengan psikosis demikian telah pasti, dengan penalaran yang wajar, tidak akan didaftar oleh petugas pencatat pemilih karena orang dengan psikosis demikian memang tidak memiliki keinginan untuk mengikuti pemungutan suara," terang MK.
UU Kesehatan maupun UU Kesehatan Jiwa tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana cara mengetahui atau setidaknya kriteria untuk menilai apakah seorang warga negara sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya. Andai pun UU 18/2014 merumuskan kriteria tertentu, atau bahwa kriteria demikian dapat merujuk pada kriteria kesehatan jiwa menurut ilmu kedokteran, psikologi, dan/atau psikiatri, penentuan apakah seseorang sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.
"Dibutuhkan keahlian (profesi) tertentu untuk dapat dengan tepat menilai seseorang sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya. Bahkan Pasal 73 UU Kesehatan Jiwa juncto Pasal 150 UU Kesehatan Jiwa mengatur bahwa pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum harus dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa bahkan melibatkan dokter spesialis bidang lain dan/atau psikolog klinis," terang MK.
Menurut MK, penyelenggara pemilihan umum tentu bukan lembaga yang tepat untuk melaksanakan tugas demikian karena lembaga penyelenggara pemilihan umum tidak didesain untuk melakukan diagnosis kesehatan jiwa dan/atau ingatan.
"Ketiadaan pedoman serta lembaga yang tepat untuk menjalankan ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional calon pemilih untuk terdaftar sebagai calon pemilih," kata majelis.
Pemilih yang kebetulan sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya pada saat pendaftaran pemilih akan kehilangan haknya untuk memilih dalam pemilihan umum periode saat itu, yang mana waktu pelaksanaan pemilihan umum berbeda dengan waktu pendaftaran pemilih.
"Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa 'terganggu jiwa/ingatannya' tidak dimaknai sebagai 'mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum'," putus MK.
DTK
Pertimbangan itu dituangkan dalam putusan nomor 135/PUU-XIII/2015. "Dapat memahami bahwa dalam interaksi masyarakat sehari-hari istilah gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan selalu dibayangkan sebagai kondisi 'gila', atau yang secara medis disebut sebagai sakit jiwa (psikosa). Padahal sebenarnya 'gila' hanya satu jenis dari abnormalitas mental," demikian pertimbangan MK sebagaimana dikutip detikcom, Senin (14/1/2019).
Putusan diputus terkait permohonan Perhimpunan Jiwa Sehat dkk. Putusan diketok secara bulat oleh Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Maria Farida Indrati, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, dan Patrialis Akbar pada 27 September 2016.
"Adapun jenis abnormalitas mental lain adalah gangguan jiwa (neurosa), yang memiliki rentang kategori sangat luas," ucap majelis.
Keluasan rentang kategori gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan dalam bahasa sehari-hari terlihat dari berbagai istilah, antara lain "stres", "cemas", "paranoid", "latah", "fobia", dan "pikiran buruk". Tentu tidaklah sama kondisi antara orang dengan gangguan jiwa semisal psikosis dengan orang yang "hanya" mengalami stres dalam kadar ringan.
"Kerancuan persepsi demikian, yang saat ini tidak dapat dihindari terjadinya di dalam masyarakat, harus mulai dibenahi demi mencegah perlakuan yang tidak tepat kepada orang dengan gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan," papar majelis.
Putusan pengadilan memiliki posisi penting untuk ikut menjernihkan berbagai kerancuan yang cenderung menimbulkan stigmatisasi serta perlakuan yang tidak tepat kepada orang dengan gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan tersebut.
"Seandainya yang dimaksud oleh pembentuk UU bahwa orang yang dikecualikan dari pencatatan pemilih adalah orang dengan psikosis (gila), yang memiliki ciri antara lain hidup menggelandang, makan sembarangan, bersifat asosial, bahkan tidak menyadari keberadaan dirinya sendiri, hal demikian menurut Mahkamah tidak perlu diatur secara khusus karena orang dengan psikosis demikian telah pasti, dengan penalaran yang wajar, tidak akan didaftar oleh petugas pencatat pemilih karena orang dengan psikosis demikian memang tidak memiliki keinginan untuk mengikuti pemungutan suara," terang MK.
UU Kesehatan maupun UU Kesehatan Jiwa tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana cara mengetahui atau setidaknya kriteria untuk menilai apakah seorang warga negara sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya. Andai pun UU 18/2014 merumuskan kriteria tertentu, atau bahwa kriteria demikian dapat merujuk pada kriteria kesehatan jiwa menurut ilmu kedokteran, psikologi, dan/atau psikiatri, penentuan apakah seseorang sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.
"Dibutuhkan keahlian (profesi) tertentu untuk dapat dengan tepat menilai seseorang sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya. Bahkan Pasal 73 UU Kesehatan Jiwa juncto Pasal 150 UU Kesehatan Jiwa mengatur bahwa pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum harus dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa bahkan melibatkan dokter spesialis bidang lain dan/atau psikolog klinis," terang MK.
Menurut MK, penyelenggara pemilihan umum tentu bukan lembaga yang tepat untuk melaksanakan tugas demikian karena lembaga penyelenggara pemilihan umum tidak didesain untuk melakukan diagnosis kesehatan jiwa dan/atau ingatan.
"Ketiadaan pedoman serta lembaga yang tepat untuk menjalankan ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional calon pemilih untuk terdaftar sebagai calon pemilih," kata majelis.
Pemilih yang kebetulan sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya pada saat pendaftaran pemilih akan kehilangan haknya untuk memilih dalam pemilihan umum periode saat itu, yang mana waktu pelaksanaan pemilihan umum berbeda dengan waktu pendaftaran pemilih.
"Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa 'terganggu jiwa/ingatannya' tidak dimaknai sebagai 'mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum'," putus MK.
DTK
0 komentar :
Posting Komentar