JAKARTA, JMI -- Mobilisasi massa umat muslim dalam balutan Reuni Aksi 212 kembali digelar di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, pada 2 Desember 2018. Ini menjadi aksi reuni kali kedua setelah pertama kali digelar 2017 lalu.
Kepolisian memprediksi Reuni Aksi 212 kali ini tidak banyak diikuti masyarakat dibandingkan reuni 212 pada 2017 atau Aksi 212 tahun sebelumnya. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu.
Pengamat politik Populi Center, Usep S Ahyar menyebut, salah satu faktornya adalah soal relevansi aksi tersebut.
Usep berkata pada mulanya aksi 212 merupakan salah satu rangkaian aksi massa menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dihukum dalam kasus penistaan agama, 2016 silam.
Kemudian, Ahok dinyatakan bersalah dengan vonis dua tahun penjara. Hingga saat ini mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut masih menjalani hukuman kurungannya di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Jika melihat semangat awal pergerakan tersebut, kemudian dilakukan kembali saat ini meski dengan embel-embel 'reuni' maka menjadi tidak relevan. Usep menilai hal itu lantaran apa yang dicita-citakan oleh massa saat itu sudah tercapai.
Lebih jauh, kata Usep, Reuni Aksi 212 justru memunculkan pertanyaan mengenai tujuan aksi tersebut saat ini.
"Sekarang aksi buat apa?," kata Usep.
Menurut Usep, aksi yang akan dilakukan nanti justru bernuansa politik, terutama terkait Pilpres 2019. Dugaan ini sebenarnya sudah dibantah oleh sejumlah tokoh Persaudaraan Alumni 212 yang menggagas Reuni Aksi 212.
Namun Usep masih meyakini kentalnya unsur politik dalam Reuni Aksi 212 berdasarkan narasi-narasi yang dilontarkan para tokoh di dalamnya selama ini.
Usep menilai narasi kelompok yang menggagas Reuni Aksi 212 kerap mengkritik pemerintah yang berkuasa. Misalnya soal kriminalisasi terhadap ulama.
Selain itu, tokoh-tokoh yang menggagas aksi pun didominasi oleh tokoh yang mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, lawan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019.
Aksi ini digagas oleh Persaudaraan Alumni 212 yang sebelumnya terlibat dalam forum Ijtimak Ulama. Forum itu dalam keputusannya mendukung pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.
Maka dari itu, menurut Usep, sulit untuk menepis Reuni Aksi 212 tersebut tidak terkait politik.
"Saat ini memang kecenderungannya kalau kita lihat alumni 212 secara politik punya kepentingan politik yang berlawanan dengan pemerintahan sekarang. Artinya, kan bisa dibaca dukungannya ke mana," kata Usep.
Sementara itu, Pengamat politik Islam dari Univesitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Zaki Mubarak menilai wajar jika ada pihak memprediksi Reuni Aksi 212 tidak lebih ramai daripada aksi sebelumnya.
Selain karena tidak relevan, juga tidak ada pemantik atau momentum untuk gelaran aksi kali ini.
Hal ini jelas berbeda dengan aksi 212 yang pertama kali digelar pada 2016. Saat itu ada isu besar yang dianggap mencederai perasaan umat Islam, yakni dugaan penistaan agama oleh Ahok, sehingga hampir seluruh masyarakat merespons hal ini.
"Sampai hari ini saya belum melihat trigger masalah yang jelas, apa. Kalau misalnya dikaitkan soal pembakaran bendera tauhid itu sudah selesai, pelaku diproses hukum meski pengadilan menghukum ringan," kata Zaki.
212 Tak Berpengaruh
Meskipun arah dukungan para tokoh aksi 212 terlihat, yakni kepada capres-cawapres Prabowo-Sandiaga, namun aksi yang akan digelar nanti tidak berarti akan berdampak signifikan terhadap elektabilitas pasangan itu.
Zaki menduga massa yang hadir punya preferensi politik beragam. Menurut Zaki setelah harapan umat muslim terpenuhi pada kasus Ahok, sebagian warga yang ikut serta dalam aksi sebelumnya lebih tertarik pada isu yang lebih subtansial.
"Misalnya soal kebijakan ekonomi dari masing-masing calon. Mustahil, sulit sekali aksi mobilisasi itu menarik suara masyarakat yang belum menentukan pilihan," kata dia.
Hal lain yang menambah keyakinan Zaki adalah polarisasi dukungan politik umat muslim di Pilpres 2019.
Kata Zaki, dukungan politik umat muslim sudah jelas terbagi pada dua kubu. Prabowo-Sandiaga banyak didukung oleh kalangan konservatif, formalis dan kader dari organisasi Muhammadiyah. Ini terlihat dari sejumlah tokoh yang ada di kubu tersebut.
Misalnya Ketum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menjadi Koordinator juru bicara Badan Pemenangan Nasional. Kemudian Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Amien Rais.
Sedangkan kubu Jokowi-Ma'ruf mendapatkan dukungan dari kalangan umat muslim tradisional dan Nahdlatul Ulama (NU).
Dengan polarisasi politik seperti itu, kata Zaki, maka aksi reuni 212 lebih menyoal unjuk kekuatan saja menjelang Pilpres 2019. Khususnya unjuk kekuatan dari kalangan umat Islam konservatif dan formalis yang merupakan pendukung Prabowo-Sandiaga.
"Artinya enggak ada hal besar yang diperjuangkan, tapi hanya kumpul-kumpul," kata Zaki.
Kepolisian memprediksi Reuni Aksi 212 kali ini tidak banyak diikuti masyarakat dibandingkan reuni 212 pada 2017 atau Aksi 212 tahun sebelumnya. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu.
Pengamat politik Populi Center, Usep S Ahyar menyebut, salah satu faktornya adalah soal relevansi aksi tersebut.
Usep berkata pada mulanya aksi 212 merupakan salah satu rangkaian aksi massa menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dihukum dalam kasus penistaan agama, 2016 silam.
Kemudian, Ahok dinyatakan bersalah dengan vonis dua tahun penjara. Hingga saat ini mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut masih menjalani hukuman kurungannya di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Jika melihat semangat awal pergerakan tersebut, kemudian dilakukan kembali saat ini meski dengan embel-embel 'reuni' maka menjadi tidak relevan. Usep menilai hal itu lantaran apa yang dicita-citakan oleh massa saat itu sudah tercapai.
Lebih jauh, kata Usep, Reuni Aksi 212 justru memunculkan pertanyaan mengenai tujuan aksi tersebut saat ini.
"Sekarang aksi buat apa?," kata Usep.
Menurut Usep, aksi yang akan dilakukan nanti justru bernuansa politik, terutama terkait Pilpres 2019. Dugaan ini sebenarnya sudah dibantah oleh sejumlah tokoh Persaudaraan Alumni 212 yang menggagas Reuni Aksi 212.
Namun Usep masih meyakini kentalnya unsur politik dalam Reuni Aksi 212 berdasarkan narasi-narasi yang dilontarkan para tokoh di dalamnya selama ini.
Usep menilai narasi kelompok yang menggagas Reuni Aksi 212 kerap mengkritik pemerintah yang berkuasa. Misalnya soal kriminalisasi terhadap ulama.
Selain itu, tokoh-tokoh yang menggagas aksi pun didominasi oleh tokoh yang mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, lawan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019.
Aksi ini digagas oleh Persaudaraan Alumni 212 yang sebelumnya terlibat dalam forum Ijtimak Ulama. Forum itu dalam keputusannya mendukung pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.
Maka dari itu, menurut Usep, sulit untuk menepis Reuni Aksi 212 tersebut tidak terkait politik.
"Saat ini memang kecenderungannya kalau kita lihat alumni 212 secara politik punya kepentingan politik yang berlawanan dengan pemerintahan sekarang. Artinya, kan bisa dibaca dukungannya ke mana," kata Usep.
Sementara itu, Pengamat politik Islam dari Univesitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Zaki Mubarak menilai wajar jika ada pihak memprediksi Reuni Aksi 212 tidak lebih ramai daripada aksi sebelumnya.
Selain karena tidak relevan, juga tidak ada pemantik atau momentum untuk gelaran aksi kali ini.
Hal ini jelas berbeda dengan aksi 212 yang pertama kali digelar pada 2016. Saat itu ada isu besar yang dianggap mencederai perasaan umat Islam, yakni dugaan penistaan agama oleh Ahok, sehingga hampir seluruh masyarakat merespons hal ini.
"Sampai hari ini saya belum melihat trigger masalah yang jelas, apa. Kalau misalnya dikaitkan soal pembakaran bendera tauhid itu sudah selesai, pelaku diproses hukum meski pengadilan menghukum ringan," kata Zaki.
212 Tak Berpengaruh
Meskipun arah dukungan para tokoh aksi 212 terlihat, yakni kepada capres-cawapres Prabowo-Sandiaga, namun aksi yang akan digelar nanti tidak berarti akan berdampak signifikan terhadap elektabilitas pasangan itu.
Zaki menduga massa yang hadir punya preferensi politik beragam. Menurut Zaki setelah harapan umat muslim terpenuhi pada kasus Ahok, sebagian warga yang ikut serta dalam aksi sebelumnya lebih tertarik pada isu yang lebih subtansial.
"Misalnya soal kebijakan ekonomi dari masing-masing calon. Mustahil, sulit sekali aksi mobilisasi itu menarik suara masyarakat yang belum menentukan pilihan," kata dia.
Hal lain yang menambah keyakinan Zaki adalah polarisasi dukungan politik umat muslim di Pilpres 2019.
Kata Zaki, dukungan politik umat muslim sudah jelas terbagi pada dua kubu. Prabowo-Sandiaga banyak didukung oleh kalangan konservatif, formalis dan kader dari organisasi Muhammadiyah. Ini terlihat dari sejumlah tokoh yang ada di kubu tersebut.
Misalnya Ketum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menjadi Koordinator juru bicara Badan Pemenangan Nasional. Kemudian Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Amien Rais.
Sedangkan kubu Jokowi-Ma'ruf mendapatkan dukungan dari kalangan umat muslim tradisional dan Nahdlatul Ulama (NU).
Dengan polarisasi politik seperti itu, kata Zaki, maka aksi reuni 212 lebih menyoal unjuk kekuatan saja menjelang Pilpres 2019. Khususnya unjuk kekuatan dari kalangan umat Islam konservatif dan formalis yang merupakan pendukung Prabowo-Sandiaga.
"Artinya enggak ada hal besar yang diperjuangkan, tapi hanya kumpul-kumpul," kata Zaki.
0 komentar :
Posting Komentar