Petir menyambar akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau di kawasan Selat Sunda terlihat dari Labuhan, Pandeglang, Banten, Senin (24/12/2018). Antara foto |
Pada Sabtu (22/12) malam, Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi dan longsoran yang menyebabkan tsunami di Selat Sunda.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan hingga hari keempat setelah tsunami pihaknya memantau masih terjadi aktivitas vulkanik atau erupsi di Gunung Anak Krakatau. Aktivitas vulkanik itulah yang menjadi sumber gemuruh dan didengar sebagian warga Lampung.
"Saat ini yang tercatat adalah getaran tremor atau seismik yang berpusat di Selat Sunda," kata Dwikorita, Rabu (26/12).
Dwikorita menjelaskan BMKG sebenarnya tak bertugas melakukan aktivitas pemantauan vulkanik. Keterlibatan BMKG disebut Dwikorita semata untuk membantu karena alat deteksi milik Badan Geologi yang dipasang di kompleks Anak Krakatau ikut mengalami longsor saat erupsi Sabtu lalu.
"Maka kami berkoordinasi dengan badan geologi untuk ikut bergabung memantau gempa-gempa vulkanik," kata dia.
"Sebenarnya mereka masih punya alat pemantau, tapi harus tetap didukung sehingga BMKG menambah peralatan yang seharusnya diset khusus gempa tektonik, kami ubah sedemikian rupa untuk deteksi gempa vulkanik. Itu dipasang agar pantauan vulkanologi bisa lebih akurat dan tepat mendeteksi potensi tsunami," kata Dwikorita.
Sebelumnya, sejumlah warga Lampung yang tinggal di pesisir mengaku mendengar suara gemuruh. Gemuruh itu membuat mereka mengungsi ke tempat aman.
Dwikorita mengatakan gemuruh Anak Krakatau berpotensi memicu longsoran yang bisa menyebabkan terjadi tsunami susulan. Oleh karena itu dia mengimbau warga Lampung yang tinggal di pesisir untuk menjauhi bibir pantai dengan radius 500 meter hingga 1 kilometer.
"Tidak seluruh warga Lampung, melainkan mereka yang tinggal di pantai pesisir Selat Sunda. Kalau pantainya cukup tinggi, menjauh di luar 500 meter insyaallah sudah aman. Tapi kalau pantainya rendah minimal menjauh 1 kilometer," ujar Dwikorita.
0 komentar :
Posting Komentar