WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Sepak Bola dari Hati Turun ke Kaki

Erick Thohir
Oleh: Erick Thohir

Sepekan terakhir ini saya menerima banyak pesan terkait dengan persepakbolaan nasional. Pesan yang disampaikan baik langsung atau via media sosial itu intinya bermuara pada sebuah harapan agar saya terlibat dalam mengurusi sepak bola dalam negeri.

"Pak Erick jangan cuma terlibat di sepak bola Italia saja dong, tapi sepak bola nasional juga." Begitu contoh pesan yang umumnya muncul di kolom komentar laman media sosial saya.

Saya harus memberikan penjelasan terkait harapan-harapan itu. Sama seperti Anda semua, saya pun sejatinya punya koneksi erat dengan sepak bola Indonesia. Koneksi saya sebagai penggemar setia sepak bola nasional.

Sebagai bukti kegemaran itu, saya pernah terlibat bersama Bapak IGK Manilla dan Bapak Sutiyoso saat mengelola Persija di awal tahun 2000-an. Alhamdulillah, saat itu Persija keluar sebagai juara liga musim 2001.

Saya juga terlibat mengelola Persib Bandung bersama Glenn Sugita dan Bapak Umuh Muchtar. Syukur Alhamdulillah, Maung Bandung pun meraih juara liga musim 2014 dan Piala Presiden 2015.

Sekalipun kedua tim terlibat rivalitas, alhamdulillah banyak hal positif yang telah dicapai Persija dan Persib dalam mewarnai pentas persepakbolaan Indonesia. Persija dan Persib menjadi klub yang konsisten berprestasi di atas lapangan. Sementara di luar lapangan, Persija dan Persib jadi klub dengan pemasukan dan jumlah suporter terbesar di Indonesia.

Catatan prestasi itu tentu melewati berbagai perjuangan keras seluruh elemen klub. Mulai dari kit man, suporter, pemain, staf pelatif, hingga manajemen, berusaha sekuat tenaga.

Faktor yang bisa saya simpulkan di balik kesuksesan Persija dan Persib itu adalah besepak bola dengan hati. Filosofi yang sama selalu saya bawa ketika mengelola Inter Milan, klub basket, atau saat memimpin kepanitiaan Asian Games.

Bagi saya, mengelola urusan olahraga, bisnis, maupun organisasi harus dilakukan dengan hati yang diturunkan ke pikiran dan tenaga. Sebab kesuksesan yang hakiki akan lahir dengan hati yang tulus.

Saat kita tulus bekerja keras, niscaya hasil baik akan mengikuti. Sebab saya selalu percaya pada prinsip hasil tak akan mengkhianati usaha.

Kembali ke urusan sepak bola, bagi saya ini bukan sekadar olahraga yang dimainkan dengan kaki. Sepak bola adalah olahraga yang dimainkan dari hati. Karena itulah olahraga ini menjadi yang paling dicintai.

Memang, tak semua mengartikan sepak bola bisa seideal itu. Ada pula yang mengartikan sepak bola itu urusan perut turun ke kaki. Inilah yang terkadang menjadi persoalan serius saat sepak bola hanya jadi sarana pemuas. Dengan uang, semua bisa dibeli. Bahkan hasil laga sekalipun. Ini yang tentu mesti kita hindari dalam persepakbolaan Indonesia.

Sepak bola harus dikembalikan sesuai dengan marwahnya sebagai olahraga yang paling dicintai 260 juta rakyat Indonesia. Karena rasa cinta rakyat itu, jadi wajar jika hati 260 juta orang bersedih saat timnas tersingkir di putaran grup Piala AFF 2018.

Tentu kegagalan adalah hal yang tidak kita inginkan. Tapi terkadang justru kita butuhkan untuk bangit dan belajar. Tapi, bukankah sepak bola sudah berulang kali gagal sejak SEA Games 1991?

Kalau begitu, bukanlah sudah banyak pelajaran yang bisa kita ambil? Kalau dikonversi dengan hitungan tahun, hitungan 27 tahun sepak bola kita belajar kegagalan setara dengan seorang yang menempuh pelajaran dari SD hingga jadi guru besar.

Memang, terkadang lebih mudah untuk berkomentar ketimbang berbuat. Sebab sepak bola pada praktiknya lebih sulit untuk dikelola ketimbang ditulis atau dikomentari. Tapi berangkat dari pengalaman mengelola klub sepak bola internasional, ada sejumlah ide yang bisa saya bagi kepada persepakbolaan nasional.

Kita tak perlu malu untuk mencontoh atau bahkan menunjuk operator kompetisi asing yang sudah berpengalaman menjalankan liga yang profesional. Rasanya ini adalah cara lain kita belajar dari kegagalan yang sudah 27 tahun menimpa sepak bola Indonesia.

Sudah jadi rumus baku bahwa kompetisi yang baik akan melahirkan tim nasional yang baik. Mari kita bertanya, apakah selama 27 tahun ini kita sudah menjadikan liga kita sebagai yang terbaik di Asia Tenggara? Jika belum maka tak heran prestasi belum mampir ke Indonesia.

Hal kedua yang mesti dibenahi adalah sistem kontrak pemain. Sebab tanpa disadari masalah kontrak pemain ada pengaruhnya pada prestasi.

Selama ini, harus diakui kontrak pemain di Indonesia begitu singkat. Pemain muda potensial kerap berganti baju klub setiap musim. Ini tentu tak sehat dan baik bagi perkembangan teknis sang pemain.

Sebagai gambaran saja, pemain terbaik dunia sekelas Cristiano Ronaldo mengalami saat yang tidak mudah saat berganti klub dari Real Madrid ke Juventus. Catatan golnya jadi menurun. Hal ini sebagai konsekuensi dari adaptasi yang jelas membutuhkan waktu dan menganggu ritme performa.

Sekelas Cristiano Ronaldo saja kesulitan, apalagi pesepak bola Indonesia. Walhasil, pemain yang kerap berganti klub di Indonesia jadi terancam membuang bakatnya.

Untuk membuktikan tesis ini, kita bisa berkaca pada performa Bambang Pamungkas dan Boaz Solossa. Keduanya jadi pemain yang paling bersinar dalam satu dekade terakhir karena nyaris tidak pernah berganti baju klub.

Karena itu, sistem kontrak pemain di kompetisi sepak bola Indonesia mendesak diperbaiki. Durasi kontrak mesti diperpanjang minimal dua musim demi mencegah pemain terlalu sering beganti baju klub yang jelas akan mempengaruhi performa dan bakatnya.

Mungkin saran-saran itu bisa menjadi hal yang bisa saya bagi untuk siapapun pengelola sepak bola Indonesia kelak. Siapa pun pengelolanya, mesti kita dukung bersama asalkan mengelolanya dengan sepenuh hati. Sebab sepak bola adalah urusan hati yang turun ke kaki.
Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

BERITA TERKINI

Super Meriah, SMPN 1 Godong Gelar Spensago Expo dan Karya P5 Sebagai Ajang Unjuk Kreativitas Siswa

GROBOGAN, JMI - Gelar karya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di SMPN 1 Godong Kabupaten Grobogan berlangsung sukses, pada Har...