JAKARTA, JMI -- Bus berwarna oranye-putih bernama Minitrans terparkir di Jalan Sultan Hassanudin I, Jakarta Selatan. Bus milik PT Transjakarta itu merupakan proyek revitalisasi bus ukuran sedang di Jakarta yang selama ini didominasi oleh Metromini.
Bus orange-putih itu dikelola secara swadaya oleh sejumlah pengusaha yang pernah menjadi anggota PT Metromini. Setidaknya 20 pengusaha bus telah bergabung dengan proyek ini. Mereka mengoperasikan 50 dari 100 unit Minitrans.
Salah satunya Suyanti (44) yang memilih banting stir dari pengusaha Metromini. Dia membeli satu unit Minitrans dari PT Transjakarta dengan cara mencicil.
Langkah ini ditempuh lantaran pendapatannya dari bus Metromini terus turun. Selain itu ada regulasi yang membrangus Metromini.
Suyanti hanya menerima setoran sekitar Rp200 ribu per hari atau Rp5 juta per bulan saat memiliki Metromini. Namun setelah menjadi mitra PT Transjakarta, Suyanti bisa mengantongi penghasilan bersih sebesar Rp8 juta.
Yanti juga tidak perlu lagi memikirkan gaji sopir, Solar, dan perawatan mobil. Perkara kerusakan mobil, semua sudah ditanggung PT Transjakarta.
Roni Ade Tunggara, sopir bus Minitrans berkode TSW-045 ini bisa mengantongi Rp5,5 juta per bulan. Begitu pula dengan Benget Simanjuntak.
Mereka tak lagi mengejar setoran. Kebijakan perhitungan pendapatan Minitrans bukan berdasarkan jumlah penumpang yang diangkut melainkan jarak tempuh.
"Enakan ini enggak nguber setoran lebih santai. Kita kan kejar target kilometer (jarak) 150 kilometer minimal sehari," ujar Benget.
Sederet Konsekuensi
Meski relatif untung, pengusaha dan sopir harus menerima sederet konsekuensi. Salah satunya, modal besar sebelum menjadi mitra Transjakarta.
Mereka harus menyediakan sekitar Rp70 juta untuk uang muka satu unit bus baru. Pengusaha juga harus menyiapkan sekitar Rp30 juta untuk operasional Minitrans di di bulan pertama seperti untuk solar. Total, dana awal yang harus disiapkan sekitar Rp100 juta.
Banyak pengusaha Metromini yang tak sanggup menyiapkan modal tersebut. Ditambah lagi ketidakpastian pendapatan pada masa awal Minitrans. Kesepakatan tarif per kilometer juga dianggap terlalu murah.
"Dua bulan awal nombok hampir Rp100 juta, tapi alhamdulillah April mulai tersenyum, mitra mulai ada hasil," ujar Yanti yang telah bermitra selama 10 bulan.
Yanti pun mengeluhkan pembayaran jasa dari PT Transjakarta yang kerap terlambat. Ada rentang 13 hari untuk pembayaran dari waktu dia menandatangani jumlah pendapatan yang diterimanya.
"Dari awal emang begitu, cuma mau lebaran doang itu agak tepat karena mau tanggal merah," ujar Yanti.
Keterlambatan pembayaran juga berimbas kepada sopir yang memiliki banyak tanggungan. Diketahui, selain gaji pokok sesuai upah minimum regional (UMR), sopir Minitrans juga memperoleh upah berdasarkan jarak tempuh.
Selain itu kebijakan baru, yakni split atau pengistirahatan sopir, dinilai merugikan. Kebijakan ini mengurangi jumlah jarak tempuh sopir dan berdampak pada menyusutnya pendapatan.
Benget mengaku jarak tempuhnya seringkali tidak mencapai target karena jam kerjanya dipotong 3 jam.
"Kalau dulu sebelum split mengejar target gampang," katanya.
Dia juga merasa terkekang menjadi sopir Minitrans ketimbang Metromini. Jadwal dan aturan PT Transjakarta cukup ketat. Jika lalai, penghasilan bakal dipotong.
"Dulu di Metromini enggak perlu pakai seragam, mau keluar jam berapa saja bisa, tapi kalau sekarang diatur," tutur dia.
Bukan Peremajaan Metromini
Direktur Utama PT Metromini Nofrialdi menyatakan Minitrans tidak ada kaitannya dengan perseroannya. Dia menilai pembentukan Minitrans cenderung serampangan, tanpa izin kepada PT Metromini sebagai badan hukum yang menaunginya anggotanya.
"Enggak boleh (pengusaha Metromini) nyelonong sendiri saja tanpa diketahui badan usaha Metromini itu sendiri. Ini dilangkahi saja sama dia (Transjakarta) ditabrak, Metromini enggak tahu. Itu bisa saya tuntut," kata Nofri.
Bus orange-putih itu dikelola secara swadaya oleh sejumlah pengusaha yang pernah menjadi anggota PT Metromini. Setidaknya 20 pengusaha bus telah bergabung dengan proyek ini. Mereka mengoperasikan 50 dari 100 unit Minitrans.
Salah satunya Suyanti (44) yang memilih banting stir dari pengusaha Metromini. Dia membeli satu unit Minitrans dari PT Transjakarta dengan cara mencicil.
Langkah ini ditempuh lantaran pendapatannya dari bus Metromini terus turun. Selain itu ada regulasi yang membrangus Metromini.
Suyanti hanya menerima setoran sekitar Rp200 ribu per hari atau Rp5 juta per bulan saat memiliki Metromini. Namun setelah menjadi mitra PT Transjakarta, Suyanti bisa mengantongi penghasilan bersih sebesar Rp8 juta.
Yanti juga tidak perlu lagi memikirkan gaji sopir, Solar, dan perawatan mobil. Perkara kerusakan mobil, semua sudah ditanggung PT Transjakarta.
Roni Ade Tunggara, sopir bus Minitrans berkode TSW-045 ini bisa mengantongi Rp5,5 juta per bulan. Begitu pula dengan Benget Simanjuntak.
Mereka tak lagi mengejar setoran. Kebijakan perhitungan pendapatan Minitrans bukan berdasarkan jumlah penumpang yang diangkut melainkan jarak tempuh.
"Enakan ini enggak nguber setoran lebih santai. Kita kan kejar target kilometer (jarak) 150 kilometer minimal sehari," ujar Benget.
Sederet Konsekuensi
Meski relatif untung, pengusaha dan sopir harus menerima sederet konsekuensi. Salah satunya, modal besar sebelum menjadi mitra Transjakarta.
Mereka harus menyediakan sekitar Rp70 juta untuk uang muka satu unit bus baru. Pengusaha juga harus menyiapkan sekitar Rp30 juta untuk operasional Minitrans di di bulan pertama seperti untuk solar. Total, dana awal yang harus disiapkan sekitar Rp100 juta.
Banyak pengusaha Metromini yang tak sanggup menyiapkan modal tersebut. Ditambah lagi ketidakpastian pendapatan pada masa awal Minitrans. Kesepakatan tarif per kilometer juga dianggap terlalu murah.
"Dua bulan awal nombok hampir Rp100 juta, tapi alhamdulillah April mulai tersenyum, mitra mulai ada hasil," ujar Yanti yang telah bermitra selama 10 bulan.
Yanti pun mengeluhkan pembayaran jasa dari PT Transjakarta yang kerap terlambat. Ada rentang 13 hari untuk pembayaran dari waktu dia menandatangani jumlah pendapatan yang diterimanya.
"Dari awal emang begitu, cuma mau lebaran doang itu agak tepat karena mau tanggal merah," ujar Yanti.
Keterlambatan pembayaran juga berimbas kepada sopir yang memiliki banyak tanggungan. Diketahui, selain gaji pokok sesuai upah minimum regional (UMR), sopir Minitrans juga memperoleh upah berdasarkan jarak tempuh.
Selain itu kebijakan baru, yakni split atau pengistirahatan sopir, dinilai merugikan. Kebijakan ini mengurangi jumlah jarak tempuh sopir dan berdampak pada menyusutnya pendapatan.
Benget mengaku jarak tempuhnya seringkali tidak mencapai target karena jam kerjanya dipotong 3 jam.
"Kalau dulu sebelum split mengejar target gampang," katanya.
Dia juga merasa terkekang menjadi sopir Minitrans ketimbang Metromini. Jadwal dan aturan PT Transjakarta cukup ketat. Jika lalai, penghasilan bakal dipotong.
"Dulu di Metromini enggak perlu pakai seragam, mau keluar jam berapa saja bisa, tapi kalau sekarang diatur," tutur dia.
Revitalisasi bus sedang ke PT Transjakarta menggandeng mantan pengusaha bus Metromini |
Direktur Utama PT Metromini Nofrialdi menyatakan Minitrans tidak ada kaitannya dengan perseroannya. Dia menilai pembentukan Minitrans cenderung serampangan, tanpa izin kepada PT Metromini sebagai badan hukum yang menaunginya anggotanya.
"Enggak boleh (pengusaha Metromini) nyelonong sendiri saja tanpa diketahui badan usaha Metromini itu sendiri. Ini dilangkahi saja sama dia (Transjakarta) ditabrak, Metromini enggak tahu. Itu bisa saya tuntut," kata Nofri.
0 komentar :
Posting Komentar