WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Egosentris dan Setengah Hati Demokrat Dukung Prabowo-Sandi

Partai Demokrat Secara Resmi Menunjuk Agus Harimurti Yudhoyono Sebagai Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma)
JAKARTA, JMI -- Partai Demokrat menjadi satu dari sekian partai yang mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019 ini. Namun Demokrat dinilai menjadi satu-satunya partai yang setengah hati mendukung pasangan nomor urut 2 tersebut.

Demokrat tak henti-hentinya memantik perhatian publik dengan berbagai manuver politiknya di sepanjang gelaran kampanye Pilpres 2019 ini.

Alih-alih mendukung total pasangan tersebut, kehadiran Demokrat dan manuvernya justru justru memunculkan kontroversi yang mengganggu stabilitas dan keharmonisan koalisi Prabowo-Sandi.

Pada awal September lalu, alih-alih menyatukan dan menjaga soliditas kadernya untuk pemenangan pasangan Prabowo-Sandi, Demokrat justru bersikap sebaliknya. Demokrat memilih bermain aman ketimbang harus rugi banyak dalam mendukung Prabowo-Sandi.

Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahean menyatakan bahwa partainya memberikan dispensasi bagi kadernya yang mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019. Misalnya eks Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar dan Gubenur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi.

Ferdinand mengakui DPP Demokrat akan memberi dispensasi khusus kepada kader pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Dispensasi ini diberikan karena opini dan animo masyarakat di daerah yang bersangkutan untuk mendukung Jokowi lebih tinggi. Karena itu, Ferdinand melanjutkan, Demokrat lebih baik menyelamatkan diri pada Pemilu 2019 ini.

Manuver Demokrat tak berhenti di situ. Baru-baru ini Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta para kadernya fokus memenangkan Pileg 2019, alih-alih bertarung habis-habisan di Pilpres memperjuangkan Prabowo-Sandi.

Dalam pidato penutupan kegiatan pembekalan caleg di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (11/11) malam, SBY sama-sama sekali tak menyinggung Prabowo-Sandi. Dia lebih banyak bicara mengenai kepartaian Demokrat dan memberi wejangan kepada para calegnya.

Tak cuma itu, dalam kesempatan yang sama SBY turut menyinggung adanya perubahan besar kontestasi politik Indonesia dengan meningkatnya isu politik identitas dan SARA usai Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu.

Diketahui sepanjang 2016 hingga 2017 sebelum gelaran Pilgub DKI, terjadi gelombang demo besar-besaran dengan tajuk aksi 'Bela Islam'. Aksi yang digawangi GNPF MUI (kini menjadi GNPF Ulama) itu terkait dengan kasus penistaan agama Gubernur DKI saat itu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

"Saya berani mengatakan politik kita telah berubah. Makin mengemukanya politik identitas atau SARA, dan politik yang sangat dipengaruhi ideologi," kata dia.

Ucapan SBY itu lantas dibalas oleh salah satu alumni aksi Bela Islam yang kini menjadi caleg dari PAN, Eggi Sudjana. Dia mengatakan gaya berpolitik SBY banci karena tak menentukan arah dukungan dan menyebut netral.

Demokrat Ogah Didikte Kubu Prabowo-Sandi

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasito Raharjo Jati menilai sikap SBY dan Demokrat yang kerap tak solid terhadap koalisinya itu sebagai fenomena egosentris dalam berpolitik.

Hal itu dilihat dari sikap SBY dan Demokrat yang ingin menjadi titik sentral dan tak ingin didikte oleh komitmen koalisi yang telah dibangun parpol koalisi Prabowo-Sandi.

"Ini menandakan koalisi bebas, Demokrat di sini lebih menunjukan manuver-manuver egosentris dalam berpolitik, jadi tak mau didikte dan tak mau diinstruksikan (oleh koalisi)," kata Wasisto, Senin (11/11).

Wasisto menyatakan sikap itu wajar muncul dikarenakan Demokrat masih merasa sebagai partai besar ketimbang parpol koalisi yang tergabung dalam Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Padahal, dalam struktur BPN, SBY menjabat sebagai Koordinator Juru Kampanye Nasional.

Terlebih lagi, kata Wasis, citra Demokrat makin naik pamor ketimbang parpol lain di koalisi tersebut karena memiliki sosok SBY yang menyandang status sebagai presiden ke-6 RI.

"Mereka merasa sebagai partai besar, ada ego sektoral yang termasuk ada post power sindrom ya. Padahal posisinya partai menengah ke bawah," kata dia.

Selain itu, Wasis menilai manuver-manuver politik itu dilakukan karena Demokrat sudah percaya betul tak akan mendapatkan keuntungan elektoral dari pencalonan Prabowo-Sandi.

Menurutnya, kondisi itu bakal sebaliknya bila putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang terpilih sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo. Demokrat tentu akan berjuang memenangkan pilpres.

"Nah makanya mereka fokus kea rah penguatan legislatif. Mereka merasa bahwa kartu politik AHY itu sudah tak ada lagi. Maka kemudian cara paling ampuh ya menguatkan fungsi legislatif," ungkapnya.

Pragmatisme Demokrat

Sementara itu, pengamat politik dari Populi Center, Usep S Ahyar menilai sikap distorsi yang ditujukan Demokrat terhadap koalisinya itu menunjukan karakter politik yang pragmatis.

Sebab, ia menilai Demokrat memikirkan faktor untung-rugi politik karena tak mendapatkan the coattail effect atau efek ekor jas dari pencalonan Prabowo-Sandi.

Efek ekor jas sendiri mengandung pengertian adanya pengaruh tokoh politik untuk meningkatkan suara partai di pemilu. Tokoh itu bisa berasal dari capres ataupun cawapres yang diusung parpol tertentu.

"Karena nggak dapat coattail effect dari pencalonan prabowo. Beda kalau AHY yang maju mungkin dia bisa dapat," kata Usep.

Selain itu, Usep mengatakan, perolehan elektabilitas Demokrat sepanjang masa kampanye Pemilu 2019 berlangsung tak mengalami kenaikan signifikan.

Diketahui, Survei Litbang Kompas yang digelar pada 24 September-5 Oktober 2018 lalu menunjukan Demokrat hanya menduduki posisi kelima dengan perolehan elektabilitas 4,8 persen.

Melihat hal itu, Usep pun tak heran jika SBY lebih memilih mengutamakan partainya terlebih dulu agar elektabilitasnya terangkat saat pemilu digelar tahun depan.

"Itu karena elektabilitas partai Demokrat tak sekuat seperti tahun 2009 dulu ya, apalagi eletabilitas mereka bisa turun terus gara-gara nggak dapat efek ekor jas itu," kata dia.

Lalu kenapa Prabowo mengajak Demokrat bergabung jika diketahui cuma setengah hati mendukung pemenangannya di pilpres? Usep menilai upaya Prabowo untuk mengajak Demokrat bergabung ke koalisinya sebelum pendaftaran capres-cawapres agar mendapatkan tambahan mesin politik.

Selain karena faktor kedekatan, Usep menilai, Prabowo sendiri memang membutuhkan banyak tambahan kekuatan parpol demi meraih kemenangan di Pilpres.

"Ya sebenarnya dari sisi kedekatan, Demokrat sudah lama menjalin dengan Gerindra, apalagi Demokrat nggak boleh netral agar Pilpres 2024 bisa tetap mencalonkan kandidat," kata dia.

Usep menilai tak diakomodasinya AHY sebagai cawapres menjadi pemicu setengah hati Demokrat mendukung Prabowo-Sandi. Sebelum pendaftaran di KPU, Prabowo diketahui memilih Sandi ketimbang AHY. Momen itu yang menjadi pemicu Demokrat enggan menyolidkan diri di BPN.

"Itu yang membuat mereka kecewa ya," kata dia.

Karenanya, Demokrat mencari cara lain untuk meningkatkan elektabilitasnya jelang Pemilu 2019. Demokrat pun mengubah strategi politik, salah satunya dengan bermanuver di internal koalisi Prabowo-Sandi untuk meraih simpati publik.

Sebab sekali lagi, bagi Demokrat, fokus di pileg jauh lebih menguntungkan elektabilitas mereka ketimbang mendukung penuh Prabowo-Sandi.

"Itu kan strategi juga," ujar Usep.
Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

Berita Terkini

Silmy Karim: Tarik Wisatawan Asing, Imigrasi Berikan Bebas Visa Kunjungan ke Batam,Bintan dan Karimun bagi Pemegang PR Singapura

JAKARTA, JMI - Direktorat Jenderal Imigrasi mengeluarkan kebijakan bebas visa kunjungan (BVK) bagi warga negara asing (WNA) peme...