Merpati Airlines |
Asep tak menampik persoalan kerugian keuangan yang saat ini harus ditanggung Merpati adalah kesalahan yang menumpuk dan menahun. Persoalan insefisiensi, kualitas pesawat hingga persoalan manajemen menjadi persoalan mengakar sehingga perusahaan harus berhenti beroperasi.
"Ini culture sickness yang kami tentu belajar, dan kami tentu tidak ingin jika culture ini kembali hidup jika merpati kembali terbang," ujar Asep di Grand Melia, Minggu (11/11).
Asep juga tak menampik persoalan rute perjalan dan persoalan inefisiensi menjadi persoalan yang kemarin memperburuk kondisi perusahaan sehingga perusahaan bahkan tidak mendapatkan pemasukan dan terus merugi. Ia mengatakan, hingga dua tahun terakhir sebelum perusahaan berhenti beroperasi bahkan perusahaan tidak bisa menggaji para pegawai.
"Hal hal ini yang kemudian membuat kami belajar agar kedepan kami tidak melakukan kesalahan yang sama," ujar Asep.
Asep mencatat, kerugian hingga utang kepada kreditur sendiri mencapai Rp 10,7 triliun. Angka yang tidak sedikit ini membuat perusahaan perlu mengambil keputusan untuk berhenti beroperasi dan melakukan restrukturisasi.
Namun, kedepan kata Asep langkah restrukturisasi yang dilakukan Merpati pertama adalah melepas dua anak usahanya yaitu Merpati Training Centre dan Merpati Maintance Service berdiri sendiri. Langkah ini kata Asep paling tidak hingga saat ini bisa menyelematkan dua anak usaha tersebut dan tetap bisa bertahan hingga saat ini.
"Kami harus melepas sekoci ini agar keduanya bisa safety. Sedangkan kami diinduk menyelesaikan persoalan persoalan tunggakan utang ini," ujar Asep.
0 komentar :
Posting Komentar