JMI - Nilai tukar rupiah kembali rontok. Kemarin, 1 dolar AS setara Rp 15.200-an. Mata uang Garuda diramal masih akan tertekan hingga tahun depan seiring dengan kondisi ekonomi Amerika.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, kondisi saat ini belum mencapai puncaknya, karena tekanan masih akan berlangsung hingga tahun depan.
"Equilibrium (keseimbangan) belum tercapai. Karena seperti yang dikatakan oleh Powell (Gubernur The Fed Jerome Powell) bahwa ini akan berlangsung sampai tahun depan," katanya, di Bali, kemarin.
Dia menjelaskan, pelemahan rupiah masih dilatari oleh tren kenaikan yield US Treasury atau imbal hasil surat utang AS bertenor 10 tahun tembus 3,4 persen. Ditambah lagi, kenaikan suku bunga acuan The Fed masih akan naik satu kali lagi dalam 2018.
"Ditambah tahun depan (naiknya) antara dua sampai tiga kali. Itu berarti kenaikannya sudah bisa diprediksi," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah Indonesia memang harus melakukan penyesuaian atas dinamika ekonomi global, termasuk strategi dalam pembiayaan pembangunan. Namun, fleksibilitas dalam nilai tukar rupiah tidak bisa dihindarkan karena hal ini merupakan respons terhadap perubahan lingkungan global yang masih akan terus berjalan.
Untuk menghadapi itu, Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia akan menerbitkan kebijakan yang selaras antara penjagaan stabilitas nilai tukar, makroprudensial, dan moneter. "BI melakukan policy mix dengan domain BI dalam kelola nilai tukar, makroprudensial dan dari sisi intervensi. Sementara kami melakukan policy mix dengan moneter," kata Menkeu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, untuk memperkuat rupiah, ketergantungan terhadap dolar AS harus dikurangi. Caranya adalah dengan diversifikasi mata uang saat melakukan transaksi internasional.
Berdasarkan perhitungan Apindo, apabila rencana tersebut diaplikasikan dengan baik dan disetujui pemerintah, nilai tukar rupiah akan menguat pada kisaran Rp 13.000-Rp 13.500 per dolar AS. Penyebab rupiah terus tertekan terhadap dolar AS adalah terlalu besarnya pemintaan domestik terhadap greenback.
Di satu sisi, para importir membutuhkan dolar AS untuk membeli barang. Di sisi lain, eksportir yang mendapatkan dolar AS dari penjualnya enggan mengonversikannya ke rupiah dengan berbagai alasan.
Untuk itu, pengusaha komitmen akan ekspor menggunakan mata uang negara tujuan. "Misalnya, ke Cina ya pakai reminbi atau ke Uni Eropa pakai euro," tuturnya pekan lalu. Langkah tersebut, menurutnya, praktis akan mengurangi ketergantungan eksportir dan importir terhadap dolar AS.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, pada dasarnya kondisi nilai tukar rupiah masih aman meski nilai tukarnya sudah menyentuh level 15.000 per dolar AS. "Kamu jangan lihat levelnya. Masih aman, yang penting supply dan demand-nya masih jalan," kata Mirza.
Mirza menjelaskan, nilai tukar tidak hanya dilihat dari angkanya saja. Melainkan dari faktor-faktor pendorong lainnya.
"Lihat bagaimana volatilitasnya, bagaimana supply dan demand-nya. Kita sudah mengalami volatilitas ini sejak tahun 2013. Dari Rp 10.000 ke Rp 11.000, lalu jadi Rp 12.000, jadi Rp 13.000," ujar dia.
Selain itu, dia menyatakan kondisi pelemahan nilai tukar saat ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal itu juga terjadi di beberapa negara lain yang mengalami hal serupa, bahkan lebih parah. Misalnya, India, Filipina, Meksiko, Brasil, dan Afrika Selatan.
"Bahkan negara-negara maju yang suku bunganya lebih rendah dari AS juga mengalami pelemahan kurs. Australia juga. Jadi, yang penting supply dan demand-nya berjalan dengan baik, inflasi terjaga dengan baik. Jadi, jangan terpaku pada level," kata dia.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, kondisi saat ini belum mencapai puncaknya, karena tekanan masih akan berlangsung hingga tahun depan.
"Equilibrium (keseimbangan) belum tercapai. Karena seperti yang dikatakan oleh Powell (Gubernur The Fed Jerome Powell) bahwa ini akan berlangsung sampai tahun depan," katanya, di Bali, kemarin.
Dia menjelaskan, pelemahan rupiah masih dilatari oleh tren kenaikan yield US Treasury atau imbal hasil surat utang AS bertenor 10 tahun tembus 3,4 persen. Ditambah lagi, kenaikan suku bunga acuan The Fed masih akan naik satu kali lagi dalam 2018.
"Ditambah tahun depan (naiknya) antara dua sampai tiga kali. Itu berarti kenaikannya sudah bisa diprediksi," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah Indonesia memang harus melakukan penyesuaian atas dinamika ekonomi global, termasuk strategi dalam pembiayaan pembangunan. Namun, fleksibilitas dalam nilai tukar rupiah tidak bisa dihindarkan karena hal ini merupakan respons terhadap perubahan lingkungan global yang masih akan terus berjalan.
Untuk menghadapi itu, Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia akan menerbitkan kebijakan yang selaras antara penjagaan stabilitas nilai tukar, makroprudensial, dan moneter. "BI melakukan policy mix dengan domain BI dalam kelola nilai tukar, makroprudensial dan dari sisi intervensi. Sementara kami melakukan policy mix dengan moneter," kata Menkeu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, untuk memperkuat rupiah, ketergantungan terhadap dolar AS harus dikurangi. Caranya adalah dengan diversifikasi mata uang saat melakukan transaksi internasional.
Berdasarkan perhitungan Apindo, apabila rencana tersebut diaplikasikan dengan baik dan disetujui pemerintah, nilai tukar rupiah akan menguat pada kisaran Rp 13.000-Rp 13.500 per dolar AS. Penyebab rupiah terus tertekan terhadap dolar AS adalah terlalu besarnya pemintaan domestik terhadap greenback.
Di satu sisi, para importir membutuhkan dolar AS untuk membeli barang. Di sisi lain, eksportir yang mendapatkan dolar AS dari penjualnya enggan mengonversikannya ke rupiah dengan berbagai alasan.
Untuk itu, pengusaha komitmen akan ekspor menggunakan mata uang negara tujuan. "Misalnya, ke Cina ya pakai reminbi atau ke Uni Eropa pakai euro," tuturnya pekan lalu. Langkah tersebut, menurutnya, praktis akan mengurangi ketergantungan eksportir dan importir terhadap dolar AS.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, pada dasarnya kondisi nilai tukar rupiah masih aman meski nilai tukarnya sudah menyentuh level 15.000 per dolar AS. "Kamu jangan lihat levelnya. Masih aman, yang penting supply dan demand-nya masih jalan," kata Mirza.
Mirza menjelaskan, nilai tukar tidak hanya dilihat dari angkanya saja. Melainkan dari faktor-faktor pendorong lainnya.
"Lihat bagaimana volatilitasnya, bagaimana supply dan demand-nya. Kita sudah mengalami volatilitas ini sejak tahun 2013. Dari Rp 10.000 ke Rp 11.000, lalu jadi Rp 12.000, jadi Rp 13.000," ujar dia.
Selain itu, dia menyatakan kondisi pelemahan nilai tukar saat ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal itu juga terjadi di beberapa negara lain yang mengalami hal serupa, bahkan lebih parah. Misalnya, India, Filipina, Meksiko, Brasil, dan Afrika Selatan.
"Bahkan negara-negara maju yang suku bunganya lebih rendah dari AS juga mengalami pelemahan kurs. Australia juga. Jadi, yang penting supply dan demand-nya berjalan dengan baik, inflasi terjaga dengan baik. Jadi, jangan terpaku pada level," kata dia.
0 komentar :
Posting Komentar