WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Rupiah, Mata Uang Berkinerja Terburuk Kedua di Asia

JAKARTA, JMI -- Rupiah belum juga keluar dari tekanan, meski sejumlah kebijakan telah digelontorkan oleh pemerintah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selangkah lagi menuju Rp 15 ribu per dolar AS.

Rupiah bahkan menjadi mata uang utama Asia dengan kinerja terburuk kedua. Hanya India yang lebih buruk dengan minus 10,26 persen.

Seperti dikutip laman Nasdaq, Selasa (4/9), rupiah sudah minus 8,94 persen sejak akhir 2017. Bandingkan dengan negara tetangga lain seperti Baht Thailand yang hanya minus 0,49 persen, ringgit minus 2,18 atau Won Korea minus 3,93 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengibaratkan Indonesia sedang berada dalam badai yang sempurna. Badai tersebut, kata Sri, berasal dari domestik akibat lonjakan impor yang tinggi. Badai itu menjadi semakin kencang dengan adanya krisis yang dialami negara-negara berkembang.

"Buat kita ini merupakan kejutan (lonjakan impor). Sentimen itu ditambah lagi dengan lingkungan global, Argentina masuk (dapat bantuan) IMF, Turki juga. Itu perfect storm," kata Sri di hadapan anggota Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (4/9).

Sri menyampaikan, dalam pembahasan dengan anggota Banggar pada Juli 2018, disepakati kisaran asumsi kurs dalam nota keuangan RAPBN 2019 adalah Rp 13.800 hingga Rp 14 ribu per dolar AS. Akan tetapi, dalam nota keuangan yang disampaikan Presiden Joko Widodo ditetapkan asumsi kurs menjadi Rp 14.400 per dolar AS.

"Waktu kami harus cetak nota keuangan, pada bulan Juli terjadi turbulensi luar biasa," kata Sri.

Bank Indonesia dan pemerintah sebetulnya telah mengeluarkan sejumlah jurus untuk meredam gejolak rupiah. Baru-baru ini, pemerintah mengelurkan batasan impor terhadap 900 produk. Dengan harapan pembatasan impor tersebut dapat mengurangi defisit transaksi berjalan.

Menko Perekonomian Darmin Nasution menegaskan secara fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Hal itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi Indonesia. Satu-satunya persoalan yang dihadapi adalah masalah defisit transaksi berjalan. "Satu-satunya kelemahan kita hanya transaksi berjalannya defisit dan defisitnya 3 persen," ujar Darmin.

Defisit transaksi berjalan, kata ia, masih lebih kecil dibanding 2014 yang mencapai 4,2 persen. Mantan Gubernur Bank Indonesia ini juga menyayangkan pihak-pihak yang membandingkan nilai tukar saat ini dengan 1998. Karena, saat 1998, anjloknya rupiah sangat parah. "Jangan bandingkan Rp 14 ribu sekarang dengan Rp 14 ribu pada 20 tahun yang lalu. Dua puluh tahun yang lalu itu berangkatnya dari Rp 2.800, naik Rp 14 ribu. Dan, sekarang dari Rp 13 ribu naik ke Rp 14 ribu," ujar Darmin menegaskan.

Chief Market Strategist FXTM Hussein Sayed mengatakan, investor masih terus memperhitungkan eskalasi ketegangan dagang AS-Cina lebih lanjut. Ia mengatakan, pada saat tarif umum untuk baja dan aluminium pertama kali diberlakukan bulan Maret lalu, pasar mengira perang dagang akan segera teratasi pascabeberapa kali negosiasi. Namun, setelah enam bulan berlalu, belum ada pertanda perang akan segera berakhir.

"Pasar kini memperkirakan bahwa AS akan memberlakukan tarif tambahan terhadap impor produk china senilai 200 miliar dolar AS dalam waktu dekat. Bahkan bisa jadi pada hari Kamis saat konsultasi publik berakhir,” kata Hussein, Selasa (4/9) malam.

Menurut analisa Hussein, ketegangan itu bukan hanya akan merugikan dua negara ekonomi terbesar di dunia tersebut tapi sangat mengganggu rantai pasok skala global. Khususnya rantai pasok berbagai negara berkembang. Secara bersamaan, mata uang di negara-negara berkembang akan semakin terperosok dalam beberapa pekan mendatang.

Di Indonesia, nilai tukar rupiah hingga sore hari mencapai Rp 14.935 per dolar AS. Hussein menyebut, rupiah telah merosot ke level terendah sejak krisis keuangan Asia pada 1998 di tengah ketegangan yang memburuk. Aksi jual besar-besaran terhadpa mata uang lira Turki dan Peso Argentina sedikit banyak berperan terhadap depresiasi rupiah. "Gejolak di Turki dan Argentina memicu ketidakpastian, sehingga mata uang pasar berkembang dapat semakin melemah,” katanya.

Ia mengungkapkan, meski Bank Indonesia menyatakan telah mengintervensi pasar valas dan pasar obligasi, tekanan eksternal dalam bentuk ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS dapat terus memperburuk situasi bagi Rupiah.

BI, lanjut dia, mungkin terpaksa kembali menaikkan suku bunga guna berusaha menanggulangi depresiasi Rupiah. Kenaikan suku bunga mungkin dapat membantu Rupiah, namun juga dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

RPB/JMI/RED
Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

Berita Terkini

Acara Makan Siang Jajaran JMI Bersama Anak anak Yatim berjalan Lancar dan Sukses

Jakbar, JMI - Masih dalam rangka HUT JMI ke-21 dan juga masih dalam suasana Maulid Nabi Besar Muhammad SAW jajaran Kantor redaks...