WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

Pengelolaan Dana Kampung Pegat Betumbuk Diduga dijadikan Mesin ATM

BERAU, JMI - Kampung Pegat Betumbuk atau lebih dikenal dengan Kampung "SMART" (Mandiri, Amanah, Religius, dan Trampil) merupakan salah satu Kampung terpencil dengan luas 31,917 HA yang terletak di Kecamatan pulau derawan Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur yang menjadi sasaran utama para wisatawan adalah Taman Wisatanya. Desa Pegat Betumbuk terletak didaerah terpencil yang masih membutuhkan perhatian pemerintah untuk dikembangkan. Dengan jumlah jiwa kurang lebih 858, Dalam Data Kampung sejak 2016-2017.

Sejak tahun 2015 dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ) mencuat yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai Penyelenggaraan pemerintahan, Pelaksanaan pembangunan, Pembinaan kemasyarakatan, dan Pemberdayaan masyarakat. Bahwa diketahui Dana Desa tersebut ditransfer melalui APBD Kabupaten/kota untuk selanjutnya ditransfer ke APBD Desa.
Kampung pegat betumbuk diduga telah gagal dalam pelaksanaan Pembangunan pengembangan, Pengelolaan dana sebesar Rp  2.486.286.000. M. Pada tahun 2016 dan pada tahun 2017 sebesar Rp 3.245.285.000. M yang dikucurkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, ini dipicu oleh kurangnya pengawasan sumber daya aparatur dalam pengelolaan keuangan dan juga akibat moralitas yang minim sehingga gagal dalam pembangunan.

Ditahun 2016 didasari penggunaan dan pengelolaan dana kampung yang tidak transparan. Pembangunan dan pengembang kampung tertutup sehingga tidak sesuai dengan spek mekanisme infrastruktur yang ada. Dugaan korupsi di desa/kampung tersebut positif, namun sulit untuk dibuktikan, karena dengan berbagai spek, bentuk dan pola praktik Pengelolaan keuangan desa/kampung yang tidak sesuai dengan dasar HUKUM dan UU seperti UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara.

Walaupun desa/kampung Pegat Betumbuk tersebut telah diberikan kewenangan dalam mengelola keuangan secara mandiri. Pada kenyataanya 05/08/18 Team JMI melakukan penelusuran banyaknya temuan pengelolaan angaran, infrastruktur pembangunan yang dapat diduga tidak sesuai bestek dilapangan, pola korupsi dengan berbagai faktor.

Faktor dan modus yang dilakukan seringkali terjadi dalam pola pengadaan barang dan jasa. Terjadinya diduga karena ada pembiaran dan diduga tidak diawasi oleh istansi terdekat, adapun ketentuan ketentuan yang berlaku tapi tidak dijalankan hingga dalam proses pembangunan mark up anggaran, mulai dari proses perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat hingga memasukkan program yang sifatnya mengarah pada kepentingan pribadi. Selain itu menyikapi hal ini, pengunaan dana CSR dalam penerimaan pencairan bermetrai dari PT. LTH 22 JUNI 2017 dengan nominal Rp= 10.000 jt. 31 juni 2017 RP= 10.000 JT. Dan priode Agustus-Semtember Rp= 20.000 Jtl yang tidak secara terbuka. Dan proses pengunaannya dikemanakan ?

Minimnya pengetahuan dan kapasitas aparatur, salah satu diantaranya seperti dalam melakukan pelaporan keuangan desa yang sesuai dengan aturan yang berlaku menjadi penyebab, kenapa ? Karena semua laporan dianggap sudah sesuai angaran, terjadi karena Lemahnya penggunaan aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) yang sudah diluncurkan oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Sedangkan pemerintahan Desa selalu dituntut dalam menyelenggarakan pemerintahan secara transparan dan akuntabel menginggat UU No 28 tahun 1999 tentang penyelengaraan negara yang besih dari bentuk KKN.

Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP) mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi aparatur dalam melakukan pengawasan dana tersebut, namun disisi lain praktik dan modusnya justru menjadi sangat beragam. terbukanya peluang penyelewengan akibat kurangnya pengawasan, sehingga berbagai metode penyelewengan terjadi karena ada pembiaran. Terbuka ruang mark up yang berpotensi pada kerugian desa/kampung karena pengawasan tidak maksimal dilakukan, ruang korupsi dilakukan dengan membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar dapat diduga dalam proses pengunaan angaran menjadi mark up, penggelembungan harga pun terjadi, Cara itu terjadi karena kong kalikong diduga antara aparatur dengan konsultan perencana. 

Sangat bertentangan dengan UU No 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Kepala desa harus mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik. No fisik dilapangan, tentu dari aparat penegakan hukum turun langsung kelapangan untuk mengkros ceek kebenaran kenyataan bangunan di lapangan sejak tahun 2016 sampai 2017. Terbuka ruang mark up yang berpotensi pada kerugian desa/kampung, karena modus bisa terlihat jika pengawas memahami alokasi pendanaan oleh desa. Banyak modus dilakukan karena relatif tersembunyi. 

Pengelembungan (mark up) pembiayaan pengadaan alat kantor. Pemangkasan anggaran publik. kemudian dialokasikan untuk kepentingan pribadi. Sangat bertentangan dengan UU No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dan UU NO 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. Bukankah masarakat harus mengetahui angaran desa yang sudah turun. 

Bersambung..
BST/JMI/RED
Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

Berita Terkini

MOU dengan perusahaan Dubai, PERUMDA Tirta Rangga Subang Suplai Air ke pelabuhan Patimban

SUBANG, JMI– Badan usaha milik Daerah (BUMD ) Perumda Tirta Rangga Subang  (TRS) melaksanakan MoU sengan perusahaan Dubai, Uni ...