JAKARTA, JMI - Direktur APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Research Institute Agung Pambudi mengatakan dunia usaha masih meyakini nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS tidak akan melemah signifikan atau terjun bebas di tengah gejolak ekonomi global.
"Kami menghimpun pendapat dari teman-teman eksportir dan importir, dan juga para ekonom dan konsultan. Sekarang ini kami masih meyakini bahwa suara government masih in line dengan pendapat kami, artinya bahwa rupiah itu tidak potensial terjun bebas, masih akan sangat gradual," ujar Agung di Jakarta, Kamis.
Menurut Agung, depresiasi rupiah relatif masih terkontrol. Selain itu, pemerintah selaku pengambil kebijakan juga kompak satu suara sehingga memberikan kepercayaan kepada para pelaku usaha dan juga investor.
"Dunia usaha akan panik kalau di antara para menteri itu satu ngomongnya A, satu ngomong B. Jadi kita cukup yakin dari Kemenkeu, Kemendag, dan lainnya, mereka masih satu. Buat dunia usaha itu masih positif," kata Agung.
Kendati demikian, lanjut Agung, dalam konteks pelemahan rupiah itu sendiri salah satu pemicunya yaitu perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Menghadapi sentimen perang dagang tersebut, pemerintah Indonesia harus sangat berhati-hati dalam membuat kebijakan yang tepat.
"Kita harus tetap jaga benar-benar, supaya kita tidak masuk di tengah-tengah, kegencet gajah-gajah raksasa yang sedang bertarung. Kalau kita ikut-ikutan ambil kebijakan yang keliru, kita bisa kegencet," ujar Agung.
Ia menjelaskan, kebijakan yang keliru adalah apabila pemerintah Indonesia ikut-ikutan terjebak balas-membalas tarif impor seperti AS dan China. Menurutnya, Indonesia juga belum punya kapasitas untuk bertindak melakukan hal serupa.
"Karena ada beberapa unsur yang berfikir untuk itu, protektif dan sebagainya. Gak mungkin lah, kita tidak dalam ukuran ekonomi yang mungkin untuk itu. Di sisi lain juga, bisnis kita dengan AS, untuk kondisi seperti ini tidak amat signifikan walau ada cukup besar. Makanya implikasinya juga tidak sangat dalam kecuali kita ketergantungannya tinggi," ujar Agung.
Di sisi lain, ia juga menilai, dunia usaha harusnya juga mulai secara serius menggarap pasar-pasar non tradisional seperti Afrika dan Amerika Latin. Menurutnya, sudah ada pelaku usaha yang mulai melakukan hal tersebut, namun jumlahnya relatif masih sedikit.
"Karena sebetulnya pasar non-tradisional itu potensinya cukup besar, supaya terdiversifikasi pasarnya. Sayangnya kebanyakan dunia usaha memang masih sedikit reluctant untuk membuka pasar baru, itu risikonya gede. Grup-grup besar sudah pada mulai jalankan. Kita harus beranikan diri untuk memulai, tapi memang tidak segampang itu juga," kata Agung.
ant/jmi/red
"Kami menghimpun pendapat dari teman-teman eksportir dan importir, dan juga para ekonom dan konsultan. Sekarang ini kami masih meyakini bahwa suara government masih in line dengan pendapat kami, artinya bahwa rupiah itu tidak potensial terjun bebas, masih akan sangat gradual," ujar Agung di Jakarta, Kamis.
Menurut Agung, depresiasi rupiah relatif masih terkontrol. Selain itu, pemerintah selaku pengambil kebijakan juga kompak satu suara sehingga memberikan kepercayaan kepada para pelaku usaha dan juga investor.
"Dunia usaha akan panik kalau di antara para menteri itu satu ngomongnya A, satu ngomong B. Jadi kita cukup yakin dari Kemenkeu, Kemendag, dan lainnya, mereka masih satu. Buat dunia usaha itu masih positif," kata Agung.
Kendati demikian, lanjut Agung, dalam konteks pelemahan rupiah itu sendiri salah satu pemicunya yaitu perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Menghadapi sentimen perang dagang tersebut, pemerintah Indonesia harus sangat berhati-hati dalam membuat kebijakan yang tepat.
"Kita harus tetap jaga benar-benar, supaya kita tidak masuk di tengah-tengah, kegencet gajah-gajah raksasa yang sedang bertarung. Kalau kita ikut-ikutan ambil kebijakan yang keliru, kita bisa kegencet," ujar Agung.
Ia menjelaskan, kebijakan yang keliru adalah apabila pemerintah Indonesia ikut-ikutan terjebak balas-membalas tarif impor seperti AS dan China. Menurutnya, Indonesia juga belum punya kapasitas untuk bertindak melakukan hal serupa.
"Karena ada beberapa unsur yang berfikir untuk itu, protektif dan sebagainya. Gak mungkin lah, kita tidak dalam ukuran ekonomi yang mungkin untuk itu. Di sisi lain juga, bisnis kita dengan AS, untuk kondisi seperti ini tidak amat signifikan walau ada cukup besar. Makanya implikasinya juga tidak sangat dalam kecuali kita ketergantungannya tinggi," ujar Agung.
Di sisi lain, ia juga menilai, dunia usaha harusnya juga mulai secara serius menggarap pasar-pasar non tradisional seperti Afrika dan Amerika Latin. Menurutnya, sudah ada pelaku usaha yang mulai melakukan hal tersebut, namun jumlahnya relatif masih sedikit.
"Karena sebetulnya pasar non-tradisional itu potensinya cukup besar, supaya terdiversifikasi pasarnya. Sayangnya kebanyakan dunia usaha memang masih sedikit reluctant untuk membuka pasar baru, itu risikonya gede. Grup-grup besar sudah pada mulai jalankan. Kita harus beranikan diri untuk memulai, tapi memang tidak segampang itu juga," kata Agung.
ant/jmi/red
0 komentar :
Posting Komentar