BERAU, JMI - Aktivitas produksi kayu berupa kayu masak yang terdapat didalam somil Labanan Makarti RT 8 diduga milik Imam. Kemudian ketika para awak media mendatangi lokasi kerja somil Imam RT 8 yang berada di Jl. Punai saat itu tengah melalukan kegitanannya, namun dari pihak pemilik somil menolak dikonfirmasi terkait Prosedur dan tata cara izin somil dan hasil hutan kayu yang diajukan baik secara teknis maupun administrasi.
Kapasitas izin somil, kemampuan produksi maksimum setiap bulan/tahun yang diperkenankan. Kapasitas terpasang produksi mesin yang ditetapkan kemudian Realisasi terpasang di lapangan, Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) pada hasil hutan kayu dan jangka waktu berjalan. Bahan Baku Serpih (BBS) kayu bulat, kayu bulat kecil, bahan dan limbah pembalakan yang akan diolah menjadi Serpih diduga bertentangan dengan PP No. 34 Tahun 2002 dan KEPPRES 96 Tahun 2000 Jo. 118 Tahun 2000 Keputusan Menteri Kehutanan tentang Kriteria Industri Primer Hasil Hutan Kayu untuk mendukung kebutuhan bahan baku Industri dan asal usul kayu tersebut patut untuk dipertanyakan.
Pemilik somil yang bernama saat dimintai keterangannya menunjukan sikap tidak kooperatif dan justru balik bertanya. Imam mengungkapkan, dari mana ? mau kemana ? tujuannya apa dan tinggal dimana ? Selain itu ada beberapa bahasa yang dilotarkan penuh dengan nada kesombongan sehingga dari media sulit mendapatkan iformasi terkait izin gerak somil dan asal usul kayu ulin tersebut.
Diduga ada dekingan oknum penegak hukum. Hingga ulin berupa kayu indah tersebut bebas keluar masuk. Tim investigasi Jurnal Media Indonesia (JMI) melakukan penelusuran tanggal 25/08/18 atas lapolaran warga bahwa somil tersebut sudah lama beroperasi dengan keadaan normal memproduksi kayu Ulin, dari hasil penelusuran tim JMI memintai keterangan warga setempat seputaran RT 8 Labanan Makarti terkait asal usul kayu dan penyuplai kayu tersebut.
Warga mengungkapkan yang enggan namanya ditulis dikoran menuturkan bahwa, "Hal penyuplaian kayu kami tidak tau dari mana, namun kami ada dengar-dengar kalau kayu berupa Ulin itu diduga berasal dari kela, ada juga dari km.42 seputaran Sei Segah Segah," ungkapnya, Rabu (25/08/18).
Ironinya melakukan pemanfaatan kayu dalam suatu wilayah hutan atau bekas kawasan hutan, memproduksi kayu berupa Ulin untuk mendukung kebutuhan bahan baku Industri baik perorangan badan usaha. Somil tersebut yang diduga kuat Milik Imam seharusnya mengcu kepada UD.
Apabila wilayah yang akan dimanfaatkan ternyata merupakan bekas HPK yang telah dilepaskan dan telah dibebani oleh Hak Guna Usaha (HGU), ada areal kawasan hutan yang telah dilepas dan dibebani HGU masih terdapat hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU, selain itu diduga juga somil diduga milik Imam mengabaikan kewajiban untuk membayar Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR) dan penggantian nilai tegakan. Dan wajib menyampaikan laporan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota setempat.
Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU 41/99”) memberikan sanksi pidana kepada siapapun yang dengan sengaja menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang dengan ancaman pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) nanun pada kenyataanya UU No 41/1999 diduga dibekukan. Justru masyarakat kecil yang jadi sasaran imbasnya.
BST/JMI/RED
Edisi bersambung
Kapasitas izin somil, kemampuan produksi maksimum setiap bulan/tahun yang diperkenankan. Kapasitas terpasang produksi mesin yang ditetapkan kemudian Realisasi terpasang di lapangan, Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) pada hasil hutan kayu dan jangka waktu berjalan. Bahan Baku Serpih (BBS) kayu bulat, kayu bulat kecil, bahan dan limbah pembalakan yang akan diolah menjadi Serpih diduga bertentangan dengan PP No. 34 Tahun 2002 dan KEPPRES 96 Tahun 2000 Jo. 118 Tahun 2000 Keputusan Menteri Kehutanan tentang Kriteria Industri Primer Hasil Hutan Kayu untuk mendukung kebutuhan bahan baku Industri dan asal usul kayu tersebut patut untuk dipertanyakan.
Pemilik somil yang bernama saat dimintai keterangannya menunjukan sikap tidak kooperatif dan justru balik bertanya. Imam mengungkapkan, dari mana ? mau kemana ? tujuannya apa dan tinggal dimana ? Selain itu ada beberapa bahasa yang dilotarkan penuh dengan nada kesombongan sehingga dari media sulit mendapatkan iformasi terkait izin gerak somil dan asal usul kayu ulin tersebut.
Diduga ada dekingan oknum penegak hukum. Hingga ulin berupa kayu indah tersebut bebas keluar masuk. Tim investigasi Jurnal Media Indonesia (JMI) melakukan penelusuran tanggal 25/08/18 atas lapolaran warga bahwa somil tersebut sudah lama beroperasi dengan keadaan normal memproduksi kayu Ulin, dari hasil penelusuran tim JMI memintai keterangan warga setempat seputaran RT 8 Labanan Makarti terkait asal usul kayu dan penyuplai kayu tersebut.
Warga mengungkapkan yang enggan namanya ditulis dikoran menuturkan bahwa, "Hal penyuplaian kayu kami tidak tau dari mana, namun kami ada dengar-dengar kalau kayu berupa Ulin itu diduga berasal dari kela, ada juga dari km.42 seputaran Sei Segah Segah," ungkapnya, Rabu (25/08/18).
Ironinya melakukan pemanfaatan kayu dalam suatu wilayah hutan atau bekas kawasan hutan, memproduksi kayu berupa Ulin untuk mendukung kebutuhan bahan baku Industri baik perorangan badan usaha. Somil tersebut yang diduga kuat Milik Imam seharusnya mengcu kepada UD.
Apabila wilayah yang akan dimanfaatkan ternyata merupakan bekas HPK yang telah dilepaskan dan telah dibebani oleh Hak Guna Usaha (HGU), ada areal kawasan hutan yang telah dilepas dan dibebani HGU masih terdapat hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU, selain itu diduga juga somil diduga milik Imam mengabaikan kewajiban untuk membayar Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR) dan penggantian nilai tegakan. Dan wajib menyampaikan laporan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota setempat.
Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU 41/99”) memberikan sanksi pidana kepada siapapun yang dengan sengaja menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang dengan ancaman pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) nanun pada kenyataanya UU No 41/1999 diduga dibekukan. Justru masyarakat kecil yang jadi sasaran imbasnya.
BST/JMI/RED
Edisi bersambung
0 komentar :
Posting Komentar