JAKARTA, JMI — Bendahara Partai Amanat Nasional, Nasrullah Larada, mengatakan bila ingin memenangkan Pilpres 2019 maka Presiden Jokowi harus menggandeng tokoh dari kalangan ‘Islam modernis’ sebagai calon wakil presiden (cawapres). Hal itu karena selama ini ternyata kelompok Islam modernis inilah yang belum mendukung pencalonan Jokowi sebagai calon presiden di Pilpres 2019.
"Jadi Pak Jokowi harus realistis bila dia mau menang pilpres 2019. Jujur saja, kelompok 'Islam modernis' atau dalam istilah lainnya kalangan masyarakat Islam perkotaan, inilah yang belum mendukung Jokowi. Merekalah yang berada di luar, bahkan menjadi oposisi,’’ kata Nasrullah Larada, di Jakarta, Kamis (19/4).
Berbeda dengan apa yang disebut kelompok ‘Islam tradisional’ atau dari kalangan masyarakat Islam berbasis pedesaan (rural), mereka sudah berada bersama pemerintahan Joko Widodo. Bahkan banyak tokohnya yang kini menjadi menteri dan beberapa orang di antaranya kini sedang melakukan ‘kontes’ sebagai cawapres Jokowi. Mereka pun sudah memasang iklan dan fotonya diberbagai tempat. Ormas Islam dari kalangan kelompok Islam ini pun sudah lama secara terbuka mendukungnya.
‘’Maka ini membuktikan analisa dari kelompok Islam yang mana masih perlu harus ‘dirangkul’. Pak Jokowi jangan salah sangka. Mereka memang tak bersikap karena para tokoh Islam modernis tidak bersedia memasang gambarnya untuk ikut kontes cawapres. Mereka pasti akan diam saja seolah tidak bersedia. Untuk itu, siahkan saja Pak Jokowi pilih tokoh Islam modernis untuk menjadi cawapres. Stok orangnya pun banyak sekali,’’ kata Nasrullah.
Pemilihan Pak Jokowi terhadap cawapres cari kalangan Islam modernis selain realistis itu juga penting karena pemilih dari kalangan generasi milenial dengan usia 17 tahun sampai 35 tahun itu sangat besar, yakni hampir 90 juta orang. Mereka jelas generasi moderen atau manusia masa kini yang sudah sangat melek dengan teknologi informasi IT. Mereka adalah kaum urban alias kaum bermental perkotaan.
‘’Supaya diketahui lagi, Pulau Jawa misalnya kini sudah merupakan 'pulau kota'. Budaya orang Jawa sudah tak lagi budaya pertanian karena lahan sudah sempit. Anak muda jarang mau menjadi petani. Selain itu, seluruh wilayah pulau Jawa relatif lebih mudah dijangkau teknologi inforasi. Kenyataan demografi dan sosiologis juga harus dilihat. Belum lagi soal bagaimana merangkul kelompok Islam di luar Jawa. Jadi pilihan agar Pak Jokowi memilih cawapres dari kalangan Islam modernis itu tepat,’’ ujarnya.
Bukan hanya itu, lanjut Nasrullah yang juga Ketua Umum KB PII, Jokowi pun harus menyadari bila ‘pemilih die hard’ atau pemilih fanatiknya hanya berkisar di angka 20 persen dari orang yang dulu memiluhnya di Pilpres tahun 2014. Begitu juga dengan Prabowo, ‘pemilih die hard’-nya hanya berkisar 10 persen dari orang yang memilihnya di Pilpres 2014. ‘’Maka itulah Pak Jokowi harus realistis melihat kenyataan dan pilihan cawapres dari kalangan Islam modernis adalah tepat sebagai cara melebarkan basis dukungan.’’
Harap dingat pula, lanjut Nasrullah, fenomena kelompok masyarakat Islam perkotaan sudah menjadi kenyataan riil. Mereka tersebar ke segenap pelosok wilayah sehingga merubah kondisi sosial berbagai wilayah yang sangat berbeda denga fenomena Islam pada tahun sebelumnya. Ada bank, koperasi, pengelolaan masyakat, hingga pengajian baru. Mereka kerapkali atau akrab dengan mengaji melalui internet. Inilah generasi atau kelompok yang belum bisa ditembus oleh Jokowi.’’Jadi ya saran saya realistis saja dengan kekuatan dan fenomena Islam modernis itu,’’ katanya.
Bagaimana sikap PAN sendiri, terutama Amir Rais, yang masih terlihat kontra? Nasrullah menjawab, sebagai dewan kehormatan PAN sikap Amien Rais itu bisa dilakukan karena PAN sendiri belum melakukan Rakernas untuk menetapkan calon wakil presiden. Jadi apa yang dikatakan Amien tidak melanggar atau menyalahi sikap partai.
‘’Jadi banyak orang yang tidak paham atau tidak membaca situasi ini. Dan bila nanti Pak Jowowi tidak memilih cawapres dari kalangan ‘Islam modernis’ saya yakin kelompok yang kini belum mendukung Pak Jokowi tetap berada di luar. Ini jelas kerugian karena akan mendatangkan kesulitan besar bagi Pak Jokowi,’’ tegasnya.
"Jadi Pak Jokowi harus realistis bila dia mau menang pilpres 2019. Jujur saja, kelompok 'Islam modernis' atau dalam istilah lainnya kalangan masyarakat Islam perkotaan, inilah yang belum mendukung Jokowi. Merekalah yang berada di luar, bahkan menjadi oposisi,’’ kata Nasrullah Larada, di Jakarta, Kamis (19/4).
Berbeda dengan apa yang disebut kelompok ‘Islam tradisional’ atau dari kalangan masyarakat Islam berbasis pedesaan (rural), mereka sudah berada bersama pemerintahan Joko Widodo. Bahkan banyak tokohnya yang kini menjadi menteri dan beberapa orang di antaranya kini sedang melakukan ‘kontes’ sebagai cawapres Jokowi. Mereka pun sudah memasang iklan dan fotonya diberbagai tempat. Ormas Islam dari kalangan kelompok Islam ini pun sudah lama secara terbuka mendukungnya.
‘’Maka ini membuktikan analisa dari kelompok Islam yang mana masih perlu harus ‘dirangkul’. Pak Jokowi jangan salah sangka. Mereka memang tak bersikap karena para tokoh Islam modernis tidak bersedia memasang gambarnya untuk ikut kontes cawapres. Mereka pasti akan diam saja seolah tidak bersedia. Untuk itu, siahkan saja Pak Jokowi pilih tokoh Islam modernis untuk menjadi cawapres. Stok orangnya pun banyak sekali,’’ kata Nasrullah.
Pemilihan Pak Jokowi terhadap cawapres cari kalangan Islam modernis selain realistis itu juga penting karena pemilih dari kalangan generasi milenial dengan usia 17 tahun sampai 35 tahun itu sangat besar, yakni hampir 90 juta orang. Mereka jelas generasi moderen atau manusia masa kini yang sudah sangat melek dengan teknologi informasi IT. Mereka adalah kaum urban alias kaum bermental perkotaan.
‘’Supaya diketahui lagi, Pulau Jawa misalnya kini sudah merupakan 'pulau kota'. Budaya orang Jawa sudah tak lagi budaya pertanian karena lahan sudah sempit. Anak muda jarang mau menjadi petani. Selain itu, seluruh wilayah pulau Jawa relatif lebih mudah dijangkau teknologi inforasi. Kenyataan demografi dan sosiologis juga harus dilihat. Belum lagi soal bagaimana merangkul kelompok Islam di luar Jawa. Jadi pilihan agar Pak Jokowi memilih cawapres dari kalangan Islam modernis itu tepat,’’ ujarnya.
Bukan hanya itu, lanjut Nasrullah yang juga Ketua Umum KB PII, Jokowi pun harus menyadari bila ‘pemilih die hard’ atau pemilih fanatiknya hanya berkisar di angka 20 persen dari orang yang dulu memiluhnya di Pilpres tahun 2014. Begitu juga dengan Prabowo, ‘pemilih die hard’-nya hanya berkisar 10 persen dari orang yang memilihnya di Pilpres 2014. ‘’Maka itulah Pak Jokowi harus realistis melihat kenyataan dan pilihan cawapres dari kalangan Islam modernis adalah tepat sebagai cara melebarkan basis dukungan.’’
Harap dingat pula, lanjut Nasrullah, fenomena kelompok masyarakat Islam perkotaan sudah menjadi kenyataan riil. Mereka tersebar ke segenap pelosok wilayah sehingga merubah kondisi sosial berbagai wilayah yang sangat berbeda denga fenomena Islam pada tahun sebelumnya. Ada bank, koperasi, pengelolaan masyakat, hingga pengajian baru. Mereka kerapkali atau akrab dengan mengaji melalui internet. Inilah generasi atau kelompok yang belum bisa ditembus oleh Jokowi.’’Jadi ya saran saya realistis saja dengan kekuatan dan fenomena Islam modernis itu,’’ katanya.
Bagaimana sikap PAN sendiri, terutama Amir Rais, yang masih terlihat kontra? Nasrullah menjawab, sebagai dewan kehormatan PAN sikap Amien Rais itu bisa dilakukan karena PAN sendiri belum melakukan Rakernas untuk menetapkan calon wakil presiden. Jadi apa yang dikatakan Amien tidak melanggar atau menyalahi sikap partai.
‘’Jadi banyak orang yang tidak paham atau tidak membaca situasi ini. Dan bila nanti Pak Jowowi tidak memilih cawapres dari kalangan ‘Islam modernis’ saya yakin kelompok yang kini belum mendukung Pak Jokowi tetap berada di luar. Ini jelas kerugian karena akan mendatangkan kesulitan besar bagi Pak Jokowi,’’ tegasnya.
0 komentar :
Posting Komentar