JAKARTA, JMI - Akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan pernyataan Amien Rais yang mengatakan “Program bagi-bagi sertifikat Jokowi hanya merupakan pengelabuan masyarakat”. Siapa yang tidak kenal Amin Rais, politisi gaek yang selalu melontarkan pernyataan-pernyataan kritis terhadap pemerintah terutama di bawah kepemimpinan Jokowi. Kali ini dia menyindir program Nawacitanya Jokowi yang berkaitan dengan reforma agraria, khususnya sertifikasi tanah bagi petani dan masyarakat.
Sayangnya sindiran dan pernyataan kritis Amien Rais yang kemudian diperkuat oleh Fadli Zon tidak memiliki dasar yang kuat alias asal bunyi saja. Bagi keduanya yang penting terlihat “kritis” di mata publik. Hal ini bisa dipahami karena Amien Rais sendiri selama ini adalah orang yang tidak pernah bersentuhan dengan isu-isu “reforma agraria”. Sehingga wajar jika dia tidak paham maksud dan tujuan program sertifikasi tanah bagi petani dalam konteks perwujudan keadilan sosial yang sejak zaman penjajahan menjadi isu sentral perjuangan para petani Indonesia. Jika mereka berbicara tentang monopoli tanah di Indonesia, apakah mereka juga paham tentang struktur dan sejarah penguasaan tanah di Indonesia?
Reforma agraria adalah program revolusioner untuk memulai perombakan dan penataan kembali struktur penguasaan agraria yang tidak adil. Karena itu, siapapun rezim yang berkuasa sejak Orde Baru sampai Orde Reformasi (sebelum Jokowi), meskipun menggadang-gadang isu kerakyatan hampir tidak berani menyentuh masalah ketidakadilan agraria dan melaksanakan secara konsisten redistribusi tanah atau membuka akses pengelolaan sumber-sumber agraria termasuk di lahan kehutanan bagi petani gurem dan masyarakat adat. Dan tidak ada tokoh-tokoh politik sekaliber Amien Rais yang berteriak lantang mengapa pemerintah yang berkuasa saat itu tidak melaksanakan reforma agraria secara konsisten. Karena mereka semua takut dicap menjalankan ide-ide “PKI” dan juga menikmati struktur penguasaan agraria yang tidak adil.
Di era Jokowi, program reforma agraria dibuat dan dijalankan secara sederhana dan konkrit, tidak mengawang-ngawang atau penuh dengan tipu daya para politisi yang berkuasa. Baru di era Jokowi program redistribusi tanah dan sertifikasi kepada petani kecil dijalankan secara massif. Jokowi mentargetkan sertifikasi tanah 106 juta bidang dan saat ini sudah ada 46 juta bidang sertifikat tanah yang dibagikan kepada petani kecil dan masyarakat.
Jika di pemerintahan sebelum Jokowi Badan Pertanahan Nasional (BPN) menggunakan prinsip pendaftaran tanah secara “sporadik”, artinya masyarakat yang harus aktif mendaftarkan tanahnya dan seringkali biaya tinggi sehingga bagi petani dan masyarakat miskin tidak akan mampu mensertifikatkan tanahnya. Sekarang, pemerintah yang proaktif mendaftarkan dan mensertifikatkan tanah masyarakat dengan biaya yang sangat murah. Bahkan Jokowi tidak mau tahu kesulitan teknis di lapangan baik itu kekurangan petugas ukur dan administrasi BPN. Karena itu dalam sejarah perekrutan petugas ukur BPN dan pembelian alat ukur modern baru kali ini dilakukan secara besar-besaran. Semuanya dilakukan agar mayoritas petani dan masyarakat Indonesia memiliki kepastian hukum (legalitas) atas tanahnya.
Di era Jokowi ini juga sektor kehutanan yang memiliki lahan terluas di bumi Nusantara dapat dikelola, padahal selama ini tidak bisa diakses atau dimanfaatkan oleh masyarakat dan selalu menjadi pusat konflik antara pemerintah dengan masyarakat adat. Presiden telah memerintahkan 12,7 juta hektar lahan kehutanan baik di jawa maupun luar Jawa untuk diberikan hak pengelolaannya kepada masyarkat melalui program Perhutanan Sosial. Hutan yang selama ini menjadi sapi perah atau monopoli keuntungan oleh segelintir kelompok penguasa dan pengusaha dirombak dan diarahkan agar masyarakat atau petani yang hidup di sekitar hutan turut bisa menikmati sumberdaya alam bumi Nusantara. Dengan demikian pernyataan Amien Rais maupun Fadli Zon sama sekali tidak relevan jika dihubungkan dengan tidak pedulinya Jokowi dalam soal monopoli tanah.
Saya pernah diwawancarai oleh salah satu Media, apakah dengan program sertifikasi tanah secara besar-besaran di era Jokowi punya dampak terhadap kesejahteraan masyarakat? Saya katakan dan tegaskan jika ada orang menilai program sertifikasi tanah ini tidak memilki dampak kepada masyarakat dan hanya program pencitraan presiden semata, berarti orang tersebut tidak paham apa yang disebut program reforma agraria. Jangankan para politisi bahkan banyak akademisi pun tidak memahami secara benar tentang reforma agraria.
Sertifikasi tanah hanya merupakan pintu masuk terwujudnya kesejahteraan petani, karena bagaimana mungkin petani kecil bisa menjalankan usahanya dengan baik apabila tidak ada perlindungan hukum atas properti yang dimilikinya. Dan bagaimana mungkin juga petani kecil yang tanahnya belum disertifikatkan mendapat pengakuan dari lembaga perbankan atau pembiayaan untuk meningkatkan usaha pertaniannya? Dibandingkan dengan para konglomerat agrobisnis/agroindustri, mereka dengan mudah mendapatkan HGU/HGB dan setelah itu mendapatkan modal usaha ratusan milyar dari bank. Jadi sama halnya dengan para konglomerat tersebut, para petani pun untuk bisa menjalankan usahanya dengan baik memerlukan legalitas hukum atas tanahnya (SHM).
Dengan melihat perkembangan di masyarakat saat ini khususnya para petani dan masyarakat adat, terlepas dari belum tercapainya target maksimal program reforma agraria, Jokowi telah menunjukkan komitmen dan keberanian serta menjalankan agenda reforma agraria secara sederhana dan kongkrit, karena itulah yang dibutuhkan masyarakat. Jadi, sebaiknya jika para lawan Jokowi ingin mengkritik program reforma agraria, sebaiknya belajar dengan benar dan memahami apa itu reforma agraria.
Syaiful Bahari, Pemerhati Agraria dan Ketua DPP PETANI NasDem
JMI/RED
0 komentar :
Posting Komentar