JAKARTA, JMI.Com - Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta kembali dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ary dipanggil terkait kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Yang bersangkutan akan diperiksa untuk tersangka SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung)," kata juru bicara KPK Febri Diansyah, Kamis 9 November 2017.
Ary sempat dipanggil lembaga antirasywah medio Juni 2017. Saat itu, Ary diperiksa terkait perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan BPPN untuk menghapuskan utang BLBI.
Selain Ary, KPK juga memanggil eks Presiden Komisaris dan Direktur Keuangan PT Gajah Tunggal Mulyati Gozali sebagai saksi. Mulyati juga telah tiga kali dipanggil KPK, tapi tak pernah memenuhi. Ruchjat Kosasih juga dipanggil sebagai saksi untuk Syafruddin.
KPK baru menetapkan Syafruddin sebagai tersangka dalam kasus ini. Dia dianggap bertanggung jawab mengeluarkan SKL BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.
BDNI diketahui merupakan salah satu bank berlikuiditas yang terganggu akibat krisis ekonomi 1998. BDNI kemudian mengajukan pinjaman lewat skema BLBI.
BDNI menjadi salah satu kreditor penunggak. Pada saat bersamaan, pemerintah mengeluarkan kebijakan penerbitan SKLlebih ringan dengan dasar Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002.
Berdasarkan Inpres, bank yang menjadi obligor BLBI bisa dinyatakan lunas utangnya jika membayar lewat 30 persen uang tunai dan menyerahkan aset senilai 70 persen dari nilai utang.
Syafruddin yang menjabat Ketua BPPN sejak April 2002 mengusulkan SKL BDNI disetujui pada Mei di tahun yang sama kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Perubahan litigasi pada kewajiban BDNI menjadi rekstruturisasi aset sebesar Rp4,8 triliun. Hasil restrukturisasi Rp1,1 triliun dinilai dapat dipenuhi dan ditagihkan ke petani tambak yang memiliki utang ke BDNI.
Sekitar April 2004, Syafruddin mengeluarkan surat pememenuhan kewajiban pemegang saham terhadap Sjamsul Nursalim.
KPK menyebut kerugian negara atas kebijakan yang dikeluarkan Syafruddin mencapi Rp3,7 triliun. Syafruddin diduga telah menguntungkam diri atau orang lain atau korporasi dalam kebijakan penerbitan SKL BLBI untuk BDNI.
Syafruddin disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
MN/JMI/Red
0 komentar :
Posting Komentar