Saksi. Ketua DPR RI Setya Novanto). |
Dalam SPDP tersebut tertulis laporan kejadian tindak pidana korupsi dengan nomor LKTPK-63/KPK/10/2017 tanggal 26 Oktober 2017. Selain itu, SPDP juga mencantumkan dasar surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik-113/01/10/2017 tanggal 31 Oktober 2017.
Penyidik pun menjerat Novanto sebagai tersangka terhitung sejak dikeluarkannya sprindik tersebut. Novanto diduga kuat bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudiharjo (ASS), Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman, dan Sugiharto melakukan tindak pidana korupsi atas megaproyek bernilai Rp 5,9 triliun tersebut.
SPDP ditandatangani Dirdik KPK Brigjen Aris Budiman dan ditembuskan ke pimpinan KPK, Deputi Bidang Penindakan KPK, Deputi Bidang PIPM KPK dan Penuntun Umum pada KPK. Juru bicara KPK Febri Diansyah belum bersedia berkomentar terkait beredarnya surat penetapan kembali Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus KTP-el.
"Informasi tersebut belum bisa kami konfirmasi," kata Febri saat dikonfirmasi, Senin (6/11).
Namun, Febri memastikan KPK memang terus mendalami kontruksi hukum pada kasus KTP-el. Termasuk dugaan yang mengarah pada keterlibatan Novanto. "Yang pasti KPK sedang, terus mendalami dan memperkuat konstruksi hukum kasus KTP elektronik ini," ujar Febri.
SPDP KPK yang beredar ini membuat Novanto menjadi tersangka untuk kedua kali. Sebelumnya, Novanto pernah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus yang sama pada 17 Juli 2017. Namun, status tersangka Novanto gugur karena gugatan praperadilan yang diajukannya dikabulkan hakim Pengadilan Negeri jakarta Selatan, Cepi Iskandar.
Kuasa hukum Novanto Fredrich Yunadi mengaku belum mendapatkan SPDP yang menyatakan Novanto kembali menjadi tersangka. "Itu enggak ada," kata Yunadi saat dikonfirmasi, Senin (6/11).
Menurut Yunadi, dirinya belum menerima sprindik ataupun SPDP dari KPK. "Jadi yang beredar hanya isu, diduga yang menyebarkan ada maksud busuk," kata Yunadi.
Dalam SPDP yang beredar, Novanto dijerat dengan pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sementara, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham enggan menanggapi informasi telah ditetapkannya kembali Novanto sebagai tersangka oleh KPK. "Saya enggak bisa menanggapi kalau saya belum tahu," ujar Idrus di kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta, Senin (5/11).
Idrus menegaskan, belum mengetahui kabar tersangkanya ketua umum Partai Golkar tersebut. Namun, Idrus menegaskan, kalau kabar tersangkanya Novanto benar, Golkar harus menghargai proses hukum. "Saya ndak memahami itu, tetapi kalau ada proses-proses seperti itu kita hargai proses itu,” kata dia.
Idrus menambahkan, Golkar tidak ingin gegabah menanggapi kabar status tersangka Novanto yang belum pasti kebenarannya. Apalagi, langsung mengaitkan dengan mekanisme yang ada di partai berlambang pohon beringin. Bagi Golkar, kata Idrus, seluruh pengurus DPP masih memercayai Novanto setelah memenangkan praperadilan.
"Itu kan belum kita jadikan dasar tetapi kita tetap percaya bahwa sekarang ini Pak Novanto masih, setelah memenangkan praperadilan, ya tentu dan dinyatakan bahwa penetapan tersangka tidak sah. Atas dasar itu Novanto kembali memimpin partai ini lagi," ujar Idrus.
Mangkir
Pada Senin (6/11), Novanto kembali mangkir dari panggilan kedua penyidik KPK. Sedianya, Novanto diperiksa sebagai saksi korupsi proyek pengadaan KTP-el untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo (ASS) Direktur Quadra Solution. Ketidakhadiran Novanto diketahui dari surat yang dikirim Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR.
Juru bicara KPK Febri Diansyah menerangkan, surat tertanggal 6 November 2017 yang ditandatangani Plt Sekjen DPR menyampaikan alasan Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebagai saksi. "Karena menurut surat tersebut panggilan terhadap Setya Novanto harus dengan izin tertulis dari Presiden RI," ujar Febri.
Pakar hukum tata negara Refli Harun menilai, KPK tidak memerlukan izin presiden untuk memanggil Setya Novanto. Sebab, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) soal perlunya izin presiden jika ingin memeriksa atau memanggil anggota DPR, tidak berlaku untuk tindak pidana khusus, termasuk korupsi.
"Tidak tepat kalau Ketua DPR berlindung di pasal 245 UU MD3, karena baik sebelum atau setelah JR (judicial review), ketententuan izin tidak berlaku untuk tindak pidana khusus, korupsi masuk tindak pidana khusus dilabeli extraordinary crime," ujar Refli.
Menurut Refli, tidak ada alasan bagi Ketua DPR untuk mangkir dari pemeriksaan KPK. Terlebih, KPK berbekal dengan undang-undang khusus yang selama ini dipakai KPK. Sehingga, sudah kewenangan KPK untuk memanggil pejabat publik tanpa harus melalui birokrasi perizinan, termasuk presiden.
Terlepas dari hal tersebut, Refli menilai, sudah sepatutnya Novanto menunjukkan sikap hormat terhadap proses penegakan hukum.
"Kalau mangkir melanggar kewajibannya. Tapi yang paling elegan bagi Ketua DPR adalah penuhi panggilan, kalaupun tidak berlaku maka kewajiban paling utama adalah bantu penegakan hukum, jadi datang dan berikan keterangan adalah sikap gentle dan beri contoh baik," ujarnya.
Rol/Red
0 komentar :
Posting Komentar