Foto |
Freeport Dan Pemerintah
JAKARTA, JURNALMEDIAIndonesia.com - Setelah lama berkutat di meja perundingan, PT Freeport dan pemerintah akhirnya deal juga. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu mengalah dan rela mendivestasikan 51 sahamnya ke pemerintah. Untuk itu, Freeport pun dibarter perpanjangan kontrak di Papua, hingga tahun 2041.
"Pertama ini mandat Presiden dan bisa diterima Freeport Indonesia," tegas Menteri ESDM, Ignasius Jonan, saat melakukan konfrensi pers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, Richard Adkerson, di kantor ESDM, Jakarta, kemarin.
Duduk satu meja antara pemerintah dengan Freeport Indonesia dikonfrensi pers kemarin seolah menjadi penutup rivalitas keduanya ihwal tata kelola tambang di bumi Papua. Bukan perkara mudah hingga kedua pihak menemui kata sepakat.
Perseteruan terjadi sejak Januari 2017. Tepatnya, ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017). Isinya, Freeport harus mengubah status izin Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) jika ingin mendapat izin ekspor konsentrat.
Awalnya, Freeport meradang. CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, Richard Adkerson pada Maret lalu sempat mengancam akan membawa masalah ini pengadilan internasional, dalam hal ini ke Badan Arbitrase agar tetap mendapat status KK. Indonesia tidak gentar.
Freeport mempertahankan KK karena bisa mendapatkan izin eksplorasi hingga 50 tahun. Melalui IUPK hanya 10 tahun dengan perpanjangan dua kali. Area tambang Freeport juga dibatasi Jokowi, tidak hanya itu IUPK mengenakan lebih banyak pajak kepada Freeport.
Singkat cerita, setelah perang urat syaraf hingga Wapres AS, Mike Pence, berkunjung ke Indonesia April lalu, ketegangan keduanya melunak. Tim negosiasi yang dibentuk mampu mempercepat penyelesaian konflik yang ditarget rampung Oktober 2017.
Kemarin, Menteri Jonan membeberkan ada empat poin perundingan yang disepakati antara pemerintah dengan Freeport. Keempat poin itu, sesuai dengan IUPK yang menjadi dasar kehendak pemerintah. Sudah deal, maka Freeport dapat memperpanjang kontrak maksimal 2 x 10 tahun hingga tahun 2041.
Keempat poin yang dimaksud adalah pertama, landasan hukum yang mengatur hubungan pemerintah dengan Freeport Indonesia adalah IUPK, bukan KK. Kedua, divestasi atau pelepasan saham Freeport Indonesia sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional.
Ketiga, Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama lima tahun atau maksimal pada Oktober 2022. Keempat, stabilitas penerimaan negara, yakni penerimaan negara secara agregat lebih besar dibanding penerimaan melalui KK selama ini.
Bagaimana dengan Freeport? CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, Richard Adkerson yang awalnya condong ngotot sampai mengancam mau bertarung di pengadilan abitrase justru melunak. Maunya pemerintah diterimanya dengan ikhlas.
"Kami telah sepakat untuk meningkatkan kepemilikan saham Indonesia dari 9,36 persen menjadi 51 persen," ujar Adkerson dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, kemarin.
Adkerson juga tidak mempersoalkan perubahan KK menjadi IUPK. Sekalipun, harus melego saham ke pemerintah dari 9,36 persen menjadi 51 persen. Artinya, Freeport wajib menjual saham itu kepada pemerintah.
Selain itu, Freeport juga menyatakan bersedia membangun smelter untuk meningkatkan nilai tambah produknya. Rencananya pembangunan smelter akan dilakukan dalam tempo 5 tahun. Bahkan Freeport juga bersedia menyetujui pembayaran royalti dan pajak yang lebih tinggi kepada Indonesia.
Tidak hanya itu, Adkerson mengatakan pihaknya sedang menyiapkan investasi 20 miliar dollar AS setara Rp 266 triliun untuk menggenjot bisnisnya di Indonesia. Tidak hanya itu, perusahaan tambang asal Amerika itu menyadari pentingnya kerja sama dengan pemerintah Indonesia.
Menanggapi ini, pengamat migas dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengaku heran Freeport akhirnya mau mengalah. Dia khawatir ada udang di balik keputusan Freeport ini. "Ini Freeport loh, kita tetap harus waspada," ujar Fahmy kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Fahmy menduga, bisa jadi Freeport memiliki motivasi lain dari hasil kerjasama ini. Modusnya, bisa menjual saham kepada pemerintah dengan harga terlampau tinggi (over value) sehingga pemerintah tidak mampu membeli.
Nah, ketika pemerintah tidak mampu membeli dengan APBN, maka akan dilego kepada pengusaha nasional. Kemudian, pengusaha itu berafiliasi dengan Freeport. "Takutnya akal-akalan saja, borjuis nasional masuk dan menjual kembali ke Freeport. Ini di rezim Orba pernah terjadi. Sekarang Indonesia kan tinggal punya saham 9 persen ya karena itu," tegasnya. Untuk itu, katanya, pemerintah harus mempertegas dan mempublikasi aturan main divestasi 51 persen saham Freeport.
Tidak hanya itu, Fahmy mengaku sempat berbincang dengan pegawai Freeport dan mengatakan bahwa Papua masih kaya-raya. Sumber daya alamnya, baik perak maupun emas masih berlimpah hingga dikelola sampai tahun 2060.
"Tidak hanya itu, walaupun belum terbukti, di sana katanya ada uranium. Jadi, tidak mungkin Freeport sebegitu baik dan patuhnya ke Indonesia," pungkasnya.
Senada, pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana juga berpesan kepada pemerintah jangan sampai terjebak dengan pembayaran divestasi dengan harga tinggi.
"Pemerintah harus hati-hati dengan harga berapa divestasi saham akan dilakukan. Saya yakin ini akan alot. Freeport pasti minta harga premium sementara pemerintah minta harga serendahnya," ujar Hikmahanto kepada Rakyat Merdeka, kemarin. "Jangan sampai pemerintah membeli saham sangat mahal, atau saking mahalnya akhirnya pemerintah tak bisa lakukan divestasi. Itu yang saya maksud jebakan," tambahnya.
RMOL/RED
0 komentar :
Posting Komentar