WWW.JURNAL MEDIA INDONESIA.COM

KPK Seperti Api Dalam Sekam

Brigjen Polisi Aris Budiman/Net
JAKARTA, JURNALMEDIAIndonesia.com - Kesaksian Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Polisi Aris Budiman si sidang Pansus Angket DPR, Selasa (29/8) malam bikin geger. Aris disebut datang ke Pansus tanpa restu pimpinan KPK. Bukan itu saja, Aris juga curhat tentang perseteruannya dengan Novel Baswedan. Kondisi ini membuat komisi antirasuah seperti api dalam sekam.
Aris sepertinya tidak gentar dan siap menanggung segala risiko atas kehadirannya di sidang Pansus KPK. Termasuk dipecat. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di hari Aris bersidang menegaskan pimpinan KPK tidak sependapat apabila Aris hadir. "Pimpinan tidak sependapat yang bersangkutan hadir," singkat Saut kepada wartawan, Selasa (29/8).

Tapi warning dari Saut tidak dihiraukan. Aris, tetap masuk ke ruang sidang pansus tanpa sepatah kata kepada wartawan. Di dalam ruang sidang, Aris berkicau panjang lebar. Mengenai sanksi pemecatan, dia percaya KPK arif bersikap. Dia menegaskan kehadiran ke DPR bukan secara personal, namun bagian tanggung jawabnya terhadap negara.

Kehadirannya menjadi penting secara personal karena ingin mengkonfirmasi atas dugaan dirinya menerima suap Rp 2 miliar dari anggota DPR di kasus E-KTP yang menjerat Miryam S Haryani. Nama Aris muncul dalam pemeriksaan Miryam dengan tersangka Irman dan Sugiharto pada 1 Desember 2016. Hal tersebut terungkap dalam persidangan Miryam, selaku terdakwa memberikan keterangan palsu dalam persidangan kasus e-KTP, 14 Agustus lalu.

Jaksa penuntut umum KPK dalam sidang itu memutar video pemeriksaan Miryam yang terekam CCTV. Dalam video itu, Miryam mengaku mendapatkan informasi dari sesama anggota DPR terkait pertemuan tujuh orang penyidik KPK dengan anggota Komisi III DPR. Miryam ketika itu tengah diperiksa oleh penyidik Novel Baswedan dan Ambarita Damanik. Nah, nama direktur yang disinyalir bertemu anggota Komisi III DPR baru diketahui setelah Miryam menyodorkan secarik kertas kepada penyidik Novel.

Novel saat itu menyebut posisi direktur penyidikan yang diemban Aris. "Saya tidak pernah ketemu dan menerima uang Rp 2 miliar. Siapa yang menuduh menurut saya punya agenda tertentu kepada saya maupun kepada lembaga KPK atau Polri," tegasnya.

kemudian, Aris juga curhat tentang internal KPK kepada Pansus Angket. Dia membeberkan ada friksi di tubuh komisi antirasuah. Aris juga menyebutkan ada sosok powerfull yang berpengaruh di tubuh KPK. Curhat Aris ini direspons serius anggota pansus.

Siapa sosok powerful itu? Awalnya Aris enggan menyebut nama Novel Baswedan. "Selama orang-orang yang ada seperti ini, susah, Pak. Kebijakan organisasi itu sepanjang tidak seide dengan orang-orang ini tidak akan bisa berjalan efektif. Saya tidak akan menyebutkan nama. Tapi, bapak bisa mencari tahu lebih lanjut. Sudah bisa memahami itu," paparnya.

Namun, ketika Anggota Pansus Angket KPK dari Fraksi PDIP, Junimart Girsang, menanyakan apakah penyidik senior yang dimaksud ialah Novel Baswedan, Aris pun membenarkannya. "Kalau saudara tidak mau menyampaikan nama, saya yang menyebut nama. Karena ini kan sudah menjadi faktor rahasia umum. Kalau disebut orang yang sudah pernah mendapatkan surat teguran atau peringatan orang sudah tahu itu adalah Novel, apakah betul?" tanya Junimart. "Betul," jawab Aris singkat.

Setelah itu, Aris lancar mengungkap selisih paham di lingkup KPK. Dia menyebut, salah satu kasus selisih paham adalah soal penambahan penyidik di KPK. Ceritanya begini, Aris dilantik sebagai Dirdik Penyidikan 16 September 2015 oleh Taufiequrachman Ruki, yang saat itu menjabat sebagai Plt Ketua KPK.

Menurut Aris, perselisihan dengan 'kelompok' lain di KPK mencuat ketika dirinya ingin merekrut penyidik dari Polri. "Saya mengusulkan penyidik berlatar AKP dan Kompol. Dan itu yang ditentang kelompok yang tidak setuju kebijakan saya," kata Aris.

Perseteruan pun mengerucut antara kubu Aris selaku dari Polri dan Novel dari penyidik internal KPK. Meski Novel juga berasal dari korps baju cokelat. Puncak perselisihan terjadi pada awal tahun ini, ketika Aris ingin mengangkat penyidik senior dari Polri untuk dijadikan sebagai Kepala Satuan Tugas Penyidikan. Novel pun mengirim email kepada Direktur Penyidikan KPK berisi protes atas nota dinas tersebut.

Di arena sidang, Aris mengakui menerima satu surat elektronik yang memuat protes dan penilaian dirinya sebagai sosok yang tak berintegritas. Surat elektronik itu dikirimkan 14 Februari 2017 dan dianggap mencemarkan namanya. Secara terbuka, Aris menyatakan Novel sosok yang powerful di KPK. Bahkan, Novel disebut bisa mempengaruhi kebijakan yang diambil pimpinan KPK. "Orang ini terlalu powerful barangkali, bisa mempengaruhi kebijakan," tuturnya.

Ketua KPK Agus Rahardjo merespons kesaksian Aris. Dia menyebut, lantaran menghadiri undangan Pansus, Dirdik Aris diperiksa oleh Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) KPK, kemarin. "Segala bentuk yang tidak sesuai dengan SOP, prosedur yang dilakukan pegawai atau pejabat struktural, ada pembentukan DPP itu," ungkap Agus, tadi malam.

Apa hasilnya? "Hasil belum dilaporkan pada kami," imbuhnya. Karena itu, pimpinan KPK belum mengambil langkah-langkah terhadap Aris. Jika diperlukan bakal ada pemeriksaan kembali terhadap Aris. Agus menjelaskan, secara teknis DPR hanya mengundang Aris di dalam persidangan. Bukan kepada pimpinan KPK agar menghadirkan Dirdiknya. Pimpinan KPK sendiri hingga kini masih menunggu pendapat dari MK mengenai Pansus. Artinya, Aris tidak sepaham dengan sikap pimpinan.

Dijelaskan, Aris menerima surat itu Selasa (29/8) pagi. Tembusannya baru sampai ke pimpinan siang hari. Pimpinan KPK saat itu hanya bertiga kemudian merundingkannya. "Kami mencoba memanggil yang bersangkutan (Aris), tetapi sepertinya yang bersangkutan sudah meninggalkan kantor," ungkap Agus.

Apakah Aris akan dikembalikan kepada kepolisian seperti desakan yang disampaikan sejumlah pihak? Agus bilang, tak serta merta begitu. "Kami tidak bisa memutuskan sesuatu sesuai teriakan orang di luar. Kita punya SOP, prosedur. Masa kita tidak menyepakati aturan yang ada di KPK," ujarnya.

Agus sendiri menyatakan wajar dengan adanya friksi-friksi di tubuh komisi yang dipimpinnya. Di manapun, selalu ada. "Saya di birokrat 30 tahun selalu ada friksi," selorohnya. Namun dia menegaskan, friksi-friksi itu tidak mempengaruhi keputusan atau kebijakan pimpinan KPK. Di atas Dirdik, ujar Agus, masih ada Deputi. Dan di atas Deputi, masih ada pimpinan. "Secara legitimasi, kewenangan masih ada di tangan kami, bukan tangan siapapun," tegasnya.

Pengamat hukum dari Universitas Parahyangan Bandung, Prof Asep Warlan Yusuf justru menganggap meski menuai pro kontra di masyarakat, publik harus tahu apa sebenarnya masalah di tubuh KPK. "KPK seperti api di dalam sekam. Tapi memang harus diungkap jika ada masalah serius di internal KPK. Jangan sampai lembaga ini tidak ada yang bisa mengawasi," ujar Asep.

RMOL/RED
Share on Google Plus

0 komentar :

Posting Komentar

BERITA TERKINI

Outing Class SMP Negri 2 Lakbok Berjalan Dengan Lancar

Ciamis, JMI – Outing class merupakan kegiatan di luar kelas yang bertujuan untuk mempelajari proses yang sebenarnya langsung di...