Suasana Galungan Di Bali. |
Para wanita dengan mengenakan busana adat Bali menjunjung sesajen (sesaji) didampingi suami atau putra-putrinya untuk pergi ke pura atau tempat suci keluarga untuk sembahyang.
Suasana kota Denpasar dan daerah lainnya di Bali, baik perkotaan maupun pedesaan, cukup semarak, karena sepanjang jalan dihiasi penjor sebagai lambang kemakmuran.
Jalan-jalan raya lengang karena seluruh perkantoran instansi pemerintah dan swasta di Bali libur lokal (fakultatif) selama tiga hari berturut-turut (4-6 April 2017) agar karyawan-karyawati beragama Hindu melaksanakan rangkaian ritual ini.
Proses belajar mengajar juga untuk sementara berhenti demi menghormati Galungan yang jatuh setiap 210 hari sekali.
Hari Raya Galungan (5/4) akan disusul Hari Raya Kuningan selang sepuluh hari kemudian (15/4).
Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengajak umat Hindu untuk lebih memaknai esensi rangkaian Hari Suci Galungan dan Kuningan sebagai perang dharma (kebenaran) melawan adharma (kejahatan) yang sesungguhnya ada dalam diri setiap orang.
"Mari kita renungkan, apakah kita merasa sudah memiliki sifat positif sesuai ajaran dharma? Kalau sudah, itu artinya kita sudah memenangkan dharma atas adharma dan layak merayakan Galungan," kata Pastika. "Jangan hanya dimaknai sebagai hari memotong babi, lalu berfoya-foya, itu malah menyuburkan adharma."
Direktur Program Pascasarjana Institut Hindhu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi menyatakan Hari Suci Galungan dan Kuningan dirayakan umat Hindu secara turun temurun sejak abad VIII masehi.
Hari Raya Galungan adalah momentum umat Hindu untuk meningkatkan kualitas dan memotivasi diri untuk selalu hidup dalam ketekunan bekerja dengan tidak melupakan keselamatan diri maupun lingkungan.
"Umat Hindu perlu merenungkan makna Galungan, yakni secara sadar bahwa semua anugerah yang dilimpahkan Tuhan Yang Maha Kuasa selama ini dapat mendorong umat untuk lebih meningkatkan perbuatan baik (dharma) di dunia," ujar Ketut Sumadi.
ANTARA
0 komentar :
Posting Komentar