Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-undang (RUU) Informasi dan Transaksi Eletronik, Henry Subiakto, |
Hal itu disampaikan Henry saat berkunjung ke Redaksi Kompas.com, Palmerah, Jakarta Pusat, Rabu (30/11/2016).
"Hak untuk dilupakan yang ada di Pasal 26 itu diutamakan untuk situs pemberitaan nonpers, karena mereka yang biasanya membuat berita yang tidak bertanggungjawab dan secara identitas tidak jelas" kata Henry.
Ia mengatakan dengan anonimitas tersebut, situs pemberitaan nonpers merasa bebas memberitakan tanpa proses verifikasi mendalam.
Akibatnya, berita yang secara faktual di masa ini sudah tak relevan, bisa dimunculkan kembali oleh mereka untuk mendiskreditkan pihak tertentu.
"Itu seperti kasus di Spanyol. Ada pengusaha yang dulu punya utang di bank tapi sudah dilunasi, tapi masih diberitakan kalau masih punya utang. Akhirnya di tahun-tahun berikutnya ia kesulitan saat meminjam uang di bank. Makanya DPR mengusulkan pasal itu muncul," papar Henry.
Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais mengatakan, penerapan pasal terkait hak untuk dilupakan pada Pasal 26 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), akan diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP).
Hal itu disampaikan Hanafi menanggapi polemik Pasal 26 yang dinilai memberatkan bagi dunia jurnalistik.
Seseorang yang terbukti sebagai tersangka lantas diberitakan, ketika status tersangkanya hilang karena menang di pengadilan, bisa meminta untuk menghapus pemberitaan terkait dirinya jika dianggap merugikan.
"Memang ini dilema, di satu sisi berita terikat ruang dan waktu. Tetapi seiring berkembangnya waktu ternyata pemberitaan itu dihidupkan lagi lantas muncul tafsir baru. Padahal, fakta di saat ini sudah tak seperti itu lagi," kata Hanafi, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/11/2016). KOMPAS.com
0 komentar :
Posting Komentar