Suasana antrean pengambilan berkas tilang di Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. |
Dengan alur seperti ini, apa tidak khawatir pelanggar akan malah merasa nyaman dan enggan untuk jera?
Pasalnya, pelanggaran sudah tidak lagi menghadapi aturan konvensional, di mana harus mendatangi pengadilan, menunggu, mengantre, dan mengambil surat-surat yang disita sendiri, apalagi jika jarak pengadilan jauh dari lokasi rumah, akan sangat merepotkan. Secara tidak sadar, sistem ini yang menjadi salah satu alasan pengemudi kendaraan enggan melanggar.
Edo Rusyanto, Koordinator Jaringan Aksi Keselamatan Jalan (Jarak Aman) yang juga pengamat perilaku berlalu lintas coba menanggapi gambaran tersebut. Dirinya mengakui, kalau E-Tilang memudahkan pelanggar, di mana waktu penebusan cenderung menjadi lebih singkat. Namun dirinya masih yakin, skema ini tetap bisa membuat jera pelanggar.
“Tentunya, bila E-Tilang menerapkan denda maksimal bisa jadi memberi efek jera. Bayangkan, jika melanggar marka dan rambu dikenai denda maksimal Rp 500.000. Dapat dipastikan itu akan membuat jera kebanyakan dari pelanggar,” ujar Edo kepada KompasOtomotif, Kamis (15/12/2016).
Budaya Transparan
Edo melanjutkan, E- Tilang merupakan era baru penegakkan hukum lalu lintas di jalan. Ini juga diharapkan bisa memangkas "damai" di tempat. Tentu saja, butuh kemauan keras dari petugas dan kesadaran besar dari para pengguna jalan.
“Tilang online merupakan langkah awal membangun budaya transparan dalam penindakan pelanggaran aturan di jalan. Harus dilengkapi dengan sosialisasi yang masif agar implementasinya lebih mulus,” ujar Edo.
Edo menambahkan, terkait dengan jumlah tilang, khusus di wilayah Polda Metro Jaya (iPMJ) setiap tahun sekitar satu juta pelanggaran yang ditindak Polisi Lalu Lintas. Artinya, setiap hari ada sekitar 2.700-an pelanggaran yang ditindak. Ini baru wilayah PMJ, belum seluruh Indonesia.
Kompas
0 komentar :
Posting Komentar